60. Tulus

2.7K 321 17
                                    

Pagi hari saat membuka matanya, Vista segera menoleh ke arah meja di samping brankar. Seperti sudah menjadi kebiasaan, sebuah apel merah yang ada di sana entah kenapa selalu membuatnya bersemangat.

"Apel Achio," gumam Vista dengan nada senang lalu meraih apel tersebut.

Hendak dia gigit permukaannya, tiba-tiba sebuah suara menghentikan pergerakan gadis itu.

"Siapa yang izinin makan apel nggak dicuci atau dikupas dulu?"

"Achio!" pekik Vista teramat sangat senang. "Lo bolos?" Mata gadis itu membulat hingga jelas memperlihatkan binar bahagia dari mata cantiknya.

Laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu mengangguk. "Mama lo kerja, Kakak-kakak lo ada kepentingan di kampus, jadi gue disuruh kesini buat temenin lo."

"Nggak apa-apa tau, gue bisa sendiri." Vista menjawab seolah dia begitu mandiri, padahal jika ada Achio di sini akan membuatnya sangat senang.

Entah kenapa, akhir-akhir ini Vista rasanya lebih lengket dengan Achio. Bahkan ketika laki-laki itu pamit pulang, saking anehnya Vista bisa menangis sebab rindu.

Membiarkan Achio merebut apel di tangannya untuk dikupas seperti biasa, Vista sekarang meraih ponsel untuk membuka kamera. Dia berkaca, mengamati perubahan dirinya setiap hari.

"Achio, rambut gue udah tipis banget." Vista berbicara dengan nada sendu. "Nanti kalau gue nggak punya rambut pasti jelek, ya?"

Achio menghentikan kegiatannya, dia meraih tangan Vista untuk digenggam erat-erat. "Nggak ... gue suka."

Menatap tangannya yang berada digenggaman Achio, Vista menyadari satu kekurangannya lagi. "Kurus banget, pucat juga."

"Gue suka kok."

Mengabaikan jawaban Achio, Vista mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan rawatnya. "Nggak ada kaca, ya? Gue mau ngaca biar lebih jelas."

Berdiri, Achio mendudukkan dirinya di atas brankar. Dia menarik dagu Vista agar wajah itu lurus menatapnya. "Lihat di dalam mata gue."

Vista menurut, dia bisa melihat wajahnya sendiri dengan bantuan mata jernih laki-laki itu. "Nggak sejelas lihat di kaca."

"Di mata gue, lo sempurna."

Hendak menyela, Achio meletakkan telunjuknya di atas bibir Vista yang pucat.

"Nggak peduli gimana kondisi lo, gue selalu suka." Achio menatap dalam mata gadis itu, berusaha menjelaskan bahwa perasaannya pada Vista bukan sebuah kebohongan. "Gue bisa secinta itu sama diri lo, terus kenapa lo sendiri nggak bisa?"

Gadis itu menunduk, dia merasa malu. Jika orang lain bisa mencintai dirinya bahkan sampai mau menerima kekurangannya, lalu kenapa dirinya tidak?

"Gue nggak mau kehilangan lo," lirih Vista pelan. "Janji jangan pergi?"

Achio tertawa kecil. "Berapa kali gue harus janji biar lo percaya?"

"Sebanyak-banyaknya." Teringat akan sesuatu, Vista menatap serius wajah Achio. "Kata Mama, tiga hari lagi gue harus ke Singapura."

Cukup lama Achio terdiam, dia tidak tahu bahwa akan secepat ini. Artinya Achio tidak akan bisa menemani Vista dan melihat wajah gadis sesering yang sekarang.

"Sehari setelah pernikahan Mama?" tanya Achio untuk memastikan.

Vista mengangguk. Sejujurnya dia tidak ingin, tapi mau bagaimana lagi? Dia juga ingin sembuh agar perjuangan keluarganya tidak sia-sia.

"Kenapa?" tanya Vista sambil menyentuh pipi laki-laki itu.

Achio menggeleng, dia menarik Vista ke dalam pelukannya. Entah harus senang atau sedih, tapi waktu seolah sedang mempermainkannya. Tepat setelah pernikahan Mamanya selesai, dia juga harus menerima fakta bahwa gadisnya akan pergi dalam jangka waktu yang tidak bisa dipastikan.

"Jangan sedih," cicit Vista. "Masih ada Om Naresh di sini, temen-temen lo juga pasti selalu ada buat lo."

"Gue c—"

"Astaga anak muda, apa yang sedang kalian lakukan?"

Teriakan Kara membuat kedua remaja itu menjauhkan tubuhnya. Vista mengalihkan pandangan ke luar jendela sebab malu, sedangkan Achio terang-terangan menatap tidak suka pada ketiga temannya yang tiba-tiba berada di sini.

"Ngapain kesini?"

"Kita udah janjian. Iya 'kan, honey?" tanya Kara pada Vista, bahkan laki-laki itu sempat mengedipkan matanya.

Senyum jahil yang terukir dari bibir laki-laki itu membuat Vista geram. "Nggak ada!!" ketusnya.

Desmon meletakkan bungkusan yang dia bawa atas meja. "Kita bolos, males di sekolah soalnya hari ini dapet pelajaran Pak Maryono."

Mendengar itu, Vista menjadi sedikit tertarik dengan sekolah yang baru saja dia tinggalkan. "Keadaan sekolah gimana?"

Oza yang mendengar pertanyaan itu mengernyit. "Masih sama, lo bahkan belum berhenti sebulan udah nanya keadaan sekolah aja."

"Lo harus tau kalau majalah tahunan sekolah bentar lagi keluar," celetuk Kara hingga membuat mata Vista berbinar.

"Terus gimana?"

Kara tertawa sebelum melirik wajah Achio yang tampak marah padanya. "Kemarin Achio ketemu anak OSIS buat ngisi ti—"

"Diem!" potong Achio hingga membuat tawa Kara, Oza, dan Desmon pecah. Laki-laki itu tampak begitu panik.

"Bocah alay," cibir Kara.

Pasalnya selama kelas sepuluh dan sebelas, Achio bukan tipe laki-laki yang peduli pada majalah tahunan sekolah. Dia cenderung cuek oleh segalanya, tapi setelah bertemu Vista sikap Achio seolah sedikit berubah.

"Ngisi apa?" tanya Vista belum mengerti.

Melirik Achio yang menatapnya tajam, mati-matian Kara berusaha menghentikan tawanya. "Ngisi tanda tangan, namanya dia mau masuk artikel di majalah."

Oza terbahak-bahak mendengar kebohongan itu, tapi dia juga ingin ikut membuat Achio kesal. "Anak OSIS sekolah kita kayaknya bego, majalah tahunan yang biasanya berisi karya tulis, gambar, atau artikel tentang siswa/siswi berprestasi jadi ternoda gara-gara Achio."

"Gue ng—"

"Gue tanya Riko, katanya request dari cewek-cewek di sekolah. Mana pada minta foto Achio ukurannya biar segede halaman majalah," potong Kara.

Desmon memegang perutnya yang sakit sebab terlalu banyak tertawa. "Nggak sekalian jembreng baliho mukanya Achio di depan sekolah?"

Vista tersenyum kecil mendengar pembicaraan mereka. "Nanti gue lihat majalahnya, ya?"

"Gimana caranya? Nggak mungkin itu majalah gue kirim ke Singapura."

"Emang bener ada Achio?" tanya Vista penasaran.

"Bener," jawab Oza berbohong.

"Bukannya majalah tahunan buat media kreativitas siswa?" Vista melirik Achio yang sudah tampak kesal. "Sedangkan Achio nggak masuk kriteria."

"Itu nggak bener!" jawab Achio. "Lo lagi dibohongin."

Kara tertawa. "Nanti di majalah bakal ada cerpen, puisi, gambaran, sama beberapa artikel yang membahas prestasi gue."

Oza memasang wajah ingin muntah. "Mimpi!"

Vista mengangguk membenarkan ucapan Oza, nyatanya kehadiran mereka membuatnya jauh lebih senang. Setidaknya sebelum dia pergi jauh dan tidak akan bisa sering-sering menghubungi mereka, Vista punya sedikit kenangan hari ini.

Tidak akan pernah Vista lupakan, empat laki-laki menyebalkan yang dia temui saat awal menjadi siswi baru. Terutama laki-laki yang sedang tertawa itu, Sachio. Seorang laki-laki yang dulu sangat benci padanya, begitu pun Vista yang membencinya bisa terjerat dalam lingkaran bernama cinta.

***

Langsung ke part selanjutnya! Hari ini double up sesuai janji.

VistachioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang