dua puluh dua

456 118 9
                                    

Please, bantu gue Yan. Gue butuh informasi dari lo.” Ucap Juna memohon. “Gue tadi ketemu Beni.” Lanjutnya.

Piyan yang mendengar nama orang itu di sebut langsung mendongak dan menatap Juna tajam. “Gue gak mau berhubungan apapun lagi sama dia.” Jawabnya tegas kemudian membuka pintu dan keluar lagi.

Juna cepat mengikutinya dari belakang. “Gue tahu lo bahkan gak sudi untuk denger nama dia. Tapi seenggaknya kasih tahu gue apa yang Beni lakuin ke Bitra.”

Piyan tak mengubris, ia tetap berjalan meninggalkan Juna dari minimarket tempat kerjanya. Melewati trotoar yang sepi.

“Yan, gue mohon. Gue mau memperbaiki hubungan gue sama Bitra, gue gak bisa tenang kalo kayak gini terus, Bitra terus menghindar dari gue. Tapi gue gak tahu apa kesalahan yang gue perbuat.”

Piyan berhenti lalu membalikan tubuhnya menghadap Juna. “Yaudah lo terimain aja kalo Bitra pengen lo ngejauh.”

“Bitra temen gue.”

Piyan mendengus keras. “Temen? Lo udah korbanin dia ke komplotan Beni dan sekarang masih bisa-bisa nya bilang temen?”

Juna menyeringai lebar. Otaknya semakin dibuat kalut oleh perkataan Piyan. “Yan, gue sama Bitra bantuin lo waktu Beni sama komplotannya...”

“GUE GAK PERNAH MINTA!” Potong Piyan berteriak keras. “Gara-gara lo, gue makin tersiksa. Bahkan Bitra jadi ikut di Bully sama Beni dan komplotannya.”

Juna membisu, ia begitu terkejut sekarang.

“Lo yang mengaku sebagai temennya bahkan gak tau kan gimana nasib Bitra selama dia di sekolah!?” Piyan meremas rambutnya kesal. “Harusnya waktu itu lo gak bantuin gue kalo ujung-ujungnya lo pergi dan jadiin Bitra yang bertanggung jawab atas apa yang lo perbuat.”

“..."

“Gak ada seharipun Bitra terbebas dari siksaan yang Beni lakuin bareng komplotannya.” Ucap Piyan dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Dada nya naik turun seperti menahan emosi yang sudah lama ia pendam. “Lo lihat kan apa yang Beni lakuin ke gue dulu? Itu gak seberapa dengan apa yang mereka lakuin ke Bitra.”

Juna merasa lemas sekarang, ia sampai tak bisa membayangkan itu semua.

“Jujur, gue sangat trauma atas kejadian itu. Bahkan gue sampe ada di titik ingin bunuh diri. Tapi Bitra datang dan nguatin gue disaat gue tahu kalau hidup dia lebih tersiksa. Dia gak punya salah, tapi dia berkorban untuk orang lain."

Piyan sudah tak bisa menahan air matanya lagi ketika mengingat apa yang ia dan Bitra alami bersama dulu.

"Lo gak tahu kan berapa kali Bitra harus beli seragam sekolah baru karena hampir setiap minggu Beni sobekin baju dia?"

Juna menengadahkan kepalanya ke atas, tangannya terkepal erat mendengar perkataan Piyan yang membuatnya semakin merasa bersalah.

"Lo gak tahu kan tangan Bitra pernah patah gara-gara Beni pukul dia pake tongkat besi?"

Juna mendengus keras. "Bitra gak mungkin diam aja, dia pasti lawan kan?"

"Menurut lo?"

Juna diam sejenak seperti ragu untuk mengutarakan pendapatnya. "Gue tahu dia gak selemah itu untuk ngebiarin Beni sama komplotannya nyiksa dia." Lirihnya pelan.

"Beni gak sendirian, dia bareng komplotannya. Lo pikir Bitra bisa selamanya ngelawan?"

"Tapi Bitra gak selemah itu." Protes Juna.

"Lo gak tahu gimana liciknya Beni."

Juna membisu. Ia memang belum terlalu mengenal Beni selain pertemuan pertama mereka yang berakhir dengan adu jontos di ruang ganti sekolah dulu. Dan lagi kepindahannya yang tiba-tiba itu pun membuat ia tak tahu menahu tentang apa yang terjadi setelahnya.

BITRA, NATA, & JUNA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang