02: Valletta

978 90 26
                                    

Made With Love,
Please read with love too.
© venusura.

⎯⎯⎯⎯⎯ ღღღ⎯⎯⎯⎯⎯

Age Switch ۵ Older JK

⎯⎯⎯⎯⎯ ღღღ⎯⎯⎯⎯⎯

⎯⎯⎯⎯⎯ ღღღ⎯⎯⎯⎯⎯

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

⎯⎯⎯⎯⎯ ღღღ⎯⎯⎯⎯⎯

[]
Bunyi yang berasal dari ponsel berkumandang di penjuru kamar, menciptakan nyaring yang memekakkan telinga. Namun, sang pemilik ponsel tak kunjung membuka mata, masih lelap dalam balutan selimut tipis bercorak putih.

Matanya terpejam lelah, sesekali menautkan alis kala tidurnya terganggu dengan suasana luar. Andai saja guncangan tubuh tak ia dapatkan, mungkin pria dengan paras rupawan itu masih setia berkelana di alam mimpi, melanjutkan kisahnya dengan seorang anak perempuan yang tengah merengek untuk dibelikan cokelat, meraung dengan belah bibir bawah yang sengaja dimajukan.

Namun, semuanya buyar akibat panggilan lembut di telinganya. Memaksa sang empu nama membuka mata dengan berat lantas kembali menutup kelopak kala bersinggungan dengan bias cahaya sang mentari pagi.

"Waktunya bangun." Titah seseorang yang kini telah beranjak dari tempat tidur pria itu. Berdiri dengan tatapan malas dan berkata bahwa ia menunggu untuk sarapan sebelum menutup pintu dengan kasar. Sengaja melakukannya agar menciptakan dentuman keras dan membuat sang pemilik kamar telak terbangun dari tidur nyenyaknya—atau mungkin tidak sama sekali.

Beberapa menit setelah suara langkah menjauh, ia membuka mata. Melakukan peregangan kecil pada tubuh sebelum beranjak dan merapikan tempat tidur serta membuka gorden putih gading yang tersampir rapi. Membuka kecil jendela kamar untuk mempersilakan udara segar menguasai semua ruang tanpa terkecuali. Lantas melangkahkan tungkai menuju kamar mandi dengan malas, menyambar handuk putih pada gantungan di balik pintu sebelum akhirnya gemericik air terdengar memenuhi bilik kecil itu.

❦❦❦

"Bunda, dia bukan penjahat. Jadi, kumohon untuk tidak menaruh curiga padanya lagi. Bahkan ini sudah satu tahun."—Adalah kalimat pertama yang menyapa rungunya kala ia baru saja menutup pintu kamar. Berdiri dalam diam sembari berusaha menangkap apa yang tengah dua orang itu bicarakan sepagi ini di depan pintu rumah.

"Lalu jika bukan kenapa kau menampungnya di sini, Choi?" Suara wanita paruh baya itu sedikit meninggi dalam pendengarannya. Ia menebak, kedua manusia itu tengah beradu mulut dengan dirinya sebagai pemicu—orang asing yang mendadak menginterupsi kehidupan pria muda dengan tinggi semampai itu.

Helaan napas terdengar kasar, sebelum bunyi pintu dibuka serta suara lain menyusul. "Aku bisa mengurusnya sendiri, Bunda. Kau pulanglah. Bukankah kau harus bekerja setelah ini?" Dan yang ia dengar berikutnya adalah langkah kaki menjauh juga pintu yang ditutup dengan sedikit kasar.

Kakinya masih belum melangkah saat pria di hadapannya menatap kikuk. "Maaf." Ucap pemilik marga Choi. "Tadi hanya masalah—"

"Maaf, kak." Ia memotong dengan cepat kalimat pria di hadapannya. "Maaf karena merepotkanmu selama ini."

Kemudian suasana menjadi canggung, mereka tak berniat mencairkannya dengan kalimat lain sebelum ajakan sarapan dari yang tua lebih dulu terucap. Tak ingin menolak karena sejujurnya ia sudah lapar, maka kakinya melangkah seiring pria di depannya yang juga melakukan hal serupa. Lantas mendaratkan diri di balik meja makan kecil dan sama-sama menyantap sarapan sebelum memulai hari.

❦❦❦

Kecanggungan itu tak segera selesai hingga keduanya duduk di dalam mobil. Tak satupun dari mereka yang mempunyai niat untuk menghilangkan suasana ini, justru memilih tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Kak?"

Selang beberapa waktu, ia mulai memberanikan diri untuk memulai. Menatap pria di sampingnya yang kini tengah fokus pada kendali kemudi. "Biar aku berangkat sendiri saja." Kalimatnya tak digubris, menimbulkan hembusan napas halus dari belah bibir sebelum membawa matanya ke sisi lain—jendela mobil yang menampilkan keadaan sekitar.

Sepanjang perjalanan maniknya mulai bosan, tak ada hal menarik yang dapat ia pindai sebab hampir setiap hari rute ini selalu dilewati; jalanan dengan lalu lintas lancar serta perairan luas sepanjang mata memandang, menghabiskan hampir satu tahun penuh untuk menyaksikan laut Mediterania sepanjang roda melintasi aspal.

Namun, ada kalanya ia menyukai tempat ini. Suka bagaimana hembusan angin menerpa wajahnya kala dilanda resah, tersenyum dengan antusias bagaimana para pejalan kaki memberikan senyum tulusnya, dan suka bagaimana pria di sampingnya memerhatikan setiap hal kecil yang tengah ia kerjakan.

"Sudah sampai."

Kalimat itu menyadarkannya dari lamunan panjang yang menyenangkan. Sontak berdeham kikuk dan menolehkan kepala ke arah kemudi. "Maaf, kak. Aku tidak fokus." Bukannya jawaban berupa kalimat yang ia terima, melainkan helaan napas lelah dengan bibir yang sedikit terbuka. "Kakak lelah?" Tanyanya kemudian.

"Taehyung—maksudku Vincent, sudah berapa kali aku mengatakan padamu untuk tidak mengucapkan maaf?"

"Maaf—"

"Shin Taehyung."

Kepala Taehyung lantas menunduk panik, tak berani menatap manik di depannya sebelum tangan halus itu membawa dagunya naik.

Sudut bibir pria itu tertarik ke atas, menampilkan senyum simpul yang jarang Taehyung lihat. Pria di depannya terkadang sungguh misterius; hanya bicara ketika dirasa penting, menunjukkan senyum pada waktu tak pasti, serta beberapa hal aneh lainnya yang kerap kali membuat nyali Taehyung—atau Vincent—merosot menuju mata kaki.

"Dengar," Titah pria tegas, berusaha memperingati Taehyung lewat sorot mata yang sedikit tajam. "Ini pertemuan terakhirmu dengan Psikolog, dan aku meminta dengan sangat untuk kau sembuh. Bisa?"

Taehyung mengangguk ragu, berusaha tersenyum kendati ia masih sedikit takut akan suasana yang mengurungnya saat ini.

"Aku membawamu ke Valletta bukan untuk menyakitimu, Taehyung. Kau harus sembuh agar tak lagi memimpikan Jeongguk. Dan kau tahu 'kan kenapa aku juga mengubah identitasmu?"

Kepalanya menggeleng kecil, membuat pria di depannya terkekeh kecil serta menarik kembali tangan kekarnya. Tapi, 'kan memang itu faktanya. Pria itu tak memberitahu Taehyung alasan dibalik identitasnya diubah delapan bulan lalu.

"Aku ingin kau berubah, Vincent. Jangan lagi terbayang akan masa lalu yang memuakkan itu. Oleh karenanya, gunakan waktumu sebaik mungkin di sini sebelum kita kembali ke Korea."

Taehyung terdiam, mencerna semuanya dengan baik sebelum ia merasakan hatinya menghangat. Berdebar akan perhatian kecil yang diberikan sang lawan bicara. Lantas ia memutuskan untuk fokus pada terapi kali ini. Taehyung ingin mengabulkan apa yang pria itu harapkan. Maka, ia segera keluar mobil dengan semangat, melambai kecil sebelum mobil putih itu menjauh sembari berseru;

"Kak Jungkook, semangat!"
[]

⎯⎯⎯⎯⎯ ღღღ⎯⎯⎯⎯⎯

Hi,
Aku harap sejauh ini kalian masih menikmati.

Gimana?
Sudah terjawab Taehyung jadi lompat atau tidak? Wkwk.

Jangan lupa tinggalkan jejak ya
Aku menunggumu vote dan komentar kalian.

Love u.

Made With Love ㅱ Taekook (✓)Where stories live. Discover now