"Sumpah! Gue bingung Gra! J-jangan bilang kalo lo emang sering kerasukan kayak begini?!" Naya merangkak mundur perlahan, membayangkan kemungkinan tentang apa yang terjadi pada Algra saat ini.

Pengidap DID biasanya punya luka lama yang sangat membekas. Lantas, luka semacam apa yang pernah Algra terima di masa lalu? Apa semenyakitkan itu sampai-sampai mentalnya ikut terganggu?

Pasti. Ini tidak akan lama. Sepasang kaki milik lelaki itu melemas ke bawah, matanya berkedip berulang-dirinya mencapai titik kesadaran kembali.

Naya yang tadinya kikuk berubah melongo kala melihat perubahan ekspresi Algra yang begitu kontras.

"L-lo," Naya berucap gagap. Semua yang terjadi masih tidak bisa masuk di akal sehatnya.

"Gue?" Algra menunjuk dirinya sendiri.

"Aish, kayaknya gue kumat lagi barusan," lirih Algra frustrasi, karena seingatnya tadi dia sedang memanen jambu biji di halaman belakang.

Algra sudah tau sudah tau beberapa macam kepribadian lain yang ada dirinya saat kumat. Mulai dari kepribadian menjadi anak pak ustadz, pemain bulu tangkis, personil Master Chef Indonesia, penyanyi dangdut dan masih banyak lagi. Tentu Algra malu kalau sampai kepribadian lain yang ia miliki cosplay yang tidak-tidak. Kalau benar itu terjadi, bisa hilang wibawa Algra di depan Naya.

"Kumat? Kumat apaan?" sergak Naya seraya memperbaiki posisi jadi selonjoran.

"Kayaknya ini udah waktunya lo tau." Algra berdiri, mengambil sebuah kertas yang terselip diantara buku tulis satu-satunya yang dirinya punya.

"Lo baca sendiri, gue harap lo bisa memaklumi."

Naya menyambut kertas yang diberikan Algra lalu membacanya seksama. Ternyata itu adalah surat diagnosa psikiater. Di dalam sana semuanya tertera jelas.

"Dissosiatif Identity Disorder?"

Algra meloloskan napas kasar kemudian mengangguk. "Iya."

"Apaan tuh?"

"Kepribadian ganda," respon Algra menyebalkan. "Ngerti?"

"Apapun itu, gue akan tetap ada buat lo, Gra," kata Naya. Namun yang bisa mendengar hanya dirinya dan Tuhan, karena Naya membatin.

"Paham nggak?" tanya Algra lagi.

"Au ah gue mager buat pahami ini." Gadis berbaju putih itu mengacak rambutnya sembari mengembalikan surat itu kepada suaminya.

Seorang Naya yang kini nilai akademiknya pas-pasan, tidak suka angka, bahkan malas melakukan apapun disuruh memahami surat diagnosa psikiater? Oh ayolah, ini sungguh me-mager-kan.

"Mimpi apa gue punya istri yang bentukannya begini," lirih Algra namun masih bisa didengar Naya.

"Ngomong apa lo barusan?" Naya bangkit dari selonjorannya, hendak menyambangi Algra dan memberinya peringatan.

"Kenapa nggak jadi, hm?" Algra tertawa kecil menyaksikan Naya yang tangannya mematung di udara lantaran tidak jadi menampar.

"Kata orang, durhaka sama suami itu dosa. Gue nggak mau nambah dosa gara-gara nampar suami," respon Naya polos.

Algra memperbaiki duduknya, menarik Naya hingga berada di pangkuannya. "Ini serius istri gue yang ngomong?"

Manik Naya mendelik ke atas, menyuguhkan tatapan meneduhkan. "Memangnya lo nilai gue selama ini gimana?"

"Gue nggak suka penjelasan ataupun janji! Gue sukanya tindakan. Berhubung dengan pertanyaan lo barusan, gue akan jawab dengan perlakuan gue ke lo. Kali ini paham?" kata Algra serius. Naya langsung membalasnya dengan gelengan yang Algra anggap menggemaskan.

ALGRAFITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang