"Sebenarnya sudah. Aku baru jelasin perkara kemarin sama Zafia. Tapi kalian keburu datang, jadi belum sepenuhnya aku cerita," jawab Alfa sambil melirik Zafia yang sepertinya masih shok dengan video tadi.

"Oh. Kalau gitu kami pulang ajalah. Kiraku kalian masih dieman. Jadinya aku punya inisiatif cerita sama Zafia duluan. Bang Alfa terlalu lemot cuma buat cerita doang. Banyak drama hidup kalian," ucap Dinda tanpa rasa bersalah. Zafia menumpuknya dengan bantal dan dibalas kekehan oleh Dinda.

"Video itu benar? Maksudnya, bukan rekayasa gitu? Jadi, Bang Rizal suaminya Siska? Kok bisa? Videonya dapat dari mana?" tanya Zafia bertubi-tubi.

"Eh, eh, eehh ... Kau jangan meragukan penelitianku. Itu akurat, terpercaya dan yang jelas, asli," jawab Fikri seperti tersinggung dengan pertanyaan Zafia.

"Lagian, ya. Fikri ada benarnya," ucap Denzi tiba-tiba. Semuanya mengarahkan tatapannya pada lelaki yang mengubah posisi terlentangnya di lantai itu menjadi tengkurap --masih di lantai.

"Nggak mau pindah, Bang? Nanti kedinginan malah sakit, loh," ucap Zafia sambil meringis menatap Denzi.

"Kalau dia yang sakit, biarin aja. Aku di sini jelas udah sakit, loh," ucap Alfa menduselkan wajahnya ke tengkuk Zafia, membuat wajah Zafia memerah seketika.

"Malu, Kak Al," bisik Zafia.

"Biarin aja. Siapa minta mereka duluan ganggu kita berduaan gini," jawab Alfa.

"Elah ngebucin," ketus Dinda sambil menarik ujung rambut Alfa. Membuat lelaki itu menatap ke arahnya.

"Heh! Ini mau dengerin aku lanjut atau mau manas-manasi jiwa jombloku, hah!" ucap Denzi dengan nada jengkel. Pasalnya ucapannya hanya dianggap angin lalu sama penghuni kamar itu.

"Ya lanjutkanlah. Siapa minta malah diem saat kami ngobrol," ketus Dinda sambil menatap sinis Denzi.

"Nah, aku pernah ketemu mereka berdua di klinik dekat sini. Lelaki yang saat itu sama Siska memang belum aku kenal. Tapi saat lihat dia yang bantu terapi Zafia, aku kayak inget sesuatu. Dan itu benar lelaki yang sama, sama Siska saat itu," jawab Denzi dengan masih di posisi yang sama.

"Buat apa kau ke klinik? Ngehamilin anak orang?" cetus Fikri pada Denzi.

"Mulut kau. Aku nggak ke sana kali. Cuma nggak sengaja lewat dan nampak Siska. Perempuan yang dikenali Bang Alfa," jawab Denzi menatap tajam Fikri.

"Udah, ah. Lanjut besok aja masalah perempuan 'tak beradap itu. Fi, aku pulang dulu. Besok ke sini lagi," ucap Dinda sambil berdiri dan melangkah keluar.

"Woi, Yang! Tungguin." Fikri ikut berlari keluar dan dengan sengaja menginjak jemari kaki Denzi yang masih terbaring di lantai.

"Mata kau di mana, bangke!" teriak Denzi sambil meringis. Fikri yang sudah keluar tidak membalas umpatan Denzi. Sedangkan Denzi langsung keluar dan mengejar Fikri.

"Yang?" Alfa mencubit pipi Zafia. Membuat lamunan Zafia pudar dan kembali terfokus padanya.

"Kamu cemburu, ya?" tanya Alfa kembali.

Zafia mengerutkan keningnya. "Cemburu? Sama apa?"

"Ya, mungkin karena video tadi." Wajah Alfa langsung murung.

"Buat apa aku cemburu? Memangnya Kak Al yang ngehamili Siska?" tanya Zafia.

"Eh, enak aja. Yang nggak lah!" bantah Alfa dengan cepat. Zafia hanya terkekeh pelan.

"Sayang?" Alfa menatap Zafia dengan senyum menggoda.

"Apa, Kak?" jawab Zafia sekenanya.

"Kamu masih marah sama Kakak? Masih mau lanjutin penjelasan Kakak?" tanya Alfa sambil menangkup kedua pipi Zafia.

Zafia menganggukkan kepalanya. Dia menjatuhkan kepalanya di pangkuan Alfa dan mulai mendengarkan setiap kalimat penjelasan yang Alfa ucapkan.

"Jadi gimana? Apa penjelasan Kakak masih diterima?" tanya Alfa saat seledai cerita.

"Maaf, ya, Kak." Zafia membenamkan wajahnya di perut Alfa. "Coba kalau Zaf nggak egois, pasti rencana Kakak akan berjalan menyenangkan."

Alfa mengusap rambut Zafia. "Ini salah Kakak yang terlalu keterlaluan. Tapi kita harus ambil hikmahnya. Lihatlah. Kalau ini nggak terjadi, pasti kita nggak bisa bongkar kedok Siska yang sebenarnya seperti apa."

"Iya, Kak. Jadi untuk terapi aku gimana? Apa mau dilanjut sama Bang--"

"Dokter, Sayang. Kamu masih mau manggil dia Bang saat kamu tahu siapa dia?" tanya Alfa menampakkan wajah tidak sukanya.

Zafia terkekeh pelan. "Iya. Dokter Rizal maksudnya. Jadi gimana?"

"Menurut Kakak, di stop aja. Trauma kamu sepertinya tidak separah sebelumnya. Kamu cuma sering kaget saat denger suara klakson, 'kan?" tanya Alfa yang dibalas anggukan oleh Zafia.

"Jadi kita coba dulu Kakak yang bantu terapi kamu. Pelan-pelan aja. Kalau nggak ada perubahan sampai mendekati waktu masuk sekolah kamu, ya kita cari ahli psikiater yang lain. Tapi cewek," usul Alfa. Zafia kembali menganggukkan kepalanya.

***

"Fia! Zafia!" teriak Dinda sambil berlari memasuki rumah Alfa.

Kebetulan semua orang sudah berkumpul di meja makan. Dinda langsung menemui mereka di sana.

"Kenapa, Din? Kau ini ada apa? Kayak dapat berita yang waw gitu," tanya Zafia yang sedang duduk di meja makan.

"Eh, ada Om sama Tante. Pagi, Om, Tan?" salam Dinda sambil duduk di sebelah Syifa. "Pagi, Cantik?"

"Pagi, Kak Dinda. Kakak ke mana aja? Kenapa baru main ke rumah Ifa lagi?" tanya Syifa sambil menatap Dinda dengan gaya lucunya.

"Eng ... Kakak banyak urusan. Biasa, calon orang sukses selalu sibuk," jawab Dinda asal

"Ada apa, sih, Din?" tanya Zafia tidak sabaran.

"Eh, sarapan dulu. Tak baik ribut di depan makanan. Yakan, Om, Tan?" tanya Dinda sambil menatap Wisnu dan Tari dengan senyumnya.

"Dih, bilang aja numpang sarapan," cibir Zafia.

"Tak apa. Calon orang sukses harus nyobain sarapan orang sukses beneran. Kan, Ifa?" Syifa hanya mengangguk dengan wajah polosnya. Padahal ia 'tak tahu apa yang diucapkan Dinda.

Selesai sarapan Dinda mengajak Zafia duduk di taman belakang. Dia segera mengeluarkan handphone di tasnya dan memberikan foto pada Zafia.

"Jangan kaget. Aku abis nyolong dari galeri Bang Zi," ucap Dinda mewanti-wanti.

"What! Ini beneran?" Mata Zafia membola melihat foto yang ditunjukkan Dinda.

.

.

-Tbc-
Jangan lupa vote&komen



-Jum'at 27Agustus2021-

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Where stories live. Discover now