34

11.9K 599 8
                                    


Happy Reading 🍂

"Eugh." Zafia melenguh pelan kala merasakan sesuatu menyentuh kepalanya. Matanya mengerjap-ngerjap pelan menyesuaikan cahaya. Saat penglihatannya sempurna, nampak sosok Tari yang tengah mengelus kepalanya.

Tari sedikit terkejut karena Zafia membuka matanya. Ia kira Zafia tidak akan terganggu dengan sentuhannya itu. Perlahan tangannya menjauh dari Zafia kemudian tersenyum hangat.

"Mama bangunin kamu, Sayang? Maaf, ya. Sekarang kamu tidur lagi. Biar Mama keluar," ucap Tari mulai melangkahkan kakinya.

Zafia mencekal pergelangan tangan Tari dengan tenaga yang masih lemah. Tangannya perlahan menarik tangan Tari mendekat.

"Zafia minta maaf sama Mama," lirih Zafia memeluk leher Tari.

Tari terkejut dengan perlakuan Zafia. Mengetahui anaknya menyentuhnya saja sudah membuatnya bahagia. Terlebih saat Zafia memeluk dan mengatakan kalimat sakral yang baru kali ini terucap untuknya. Air mata Tari perlahan menetes.

Tangan gemetar Tari membalas pelukan Zafia. "Zafia? Ini benar kamu, Nak? Kamu peluk Mama? Kamu panggil Mama dengan sebutan Mama? Kamu serius mengucapkan kalimat itu, Nak?" dengan suara bergetar Tari bertanya.

Zafia lemas mengangguk. "Zafia minta maaf sama Mama. Zafia siapa yang berani membenci wanita baik seperti Mama? Zafia menyesal telah membenci Mama. Zafia harap Mama tidak membenci Zafia."

Tari menggeleng, mengusap rambut Zafia. "Mama tidak mungkin membencimu, Sayang. Kamu anak Mama. Tidak ada ibu yang membenci anaknya. Terimakasih, Sayang. Terimakasih sudah menerima Mama menjadi Mama kamu. Mama bahagia mendengar kamu menyebut Mama dengan panggilan itu. Mama bahagia," ucap Tari mengecup pucuk kepala Zafia.

"Zafia salah. Zafia bodoh yang tidak menyadari kebaikan Mama. Zafia buta yang tidak bisa melihat bidadari dengan hati sehangat Mama. Maafkan Zafia, Ma. Maafkan Zafia," lirih Zafia membiarkan air matanya terus menetes.

Tari melepaskan pelukannya. Menatap Zafia dengan senyum lebih hangat, senyum bahagia. Tangannya perlahan menyeka air mata di pipi Zafia.

"Zafia Mama tidak boleh nangis. Seingat Mama, Zafia adalah wanita kuat. Mama belum pernah melihat air ini melintas di pipi anak Mama," ucap Tari terus mengusap pipi Zafia.

"Zafia menyesal telah membenci Mama. Maafkan Zafia, Ma." Zafia mengambil tangan Tari yang berada di pipinya, kemudian mengecupnya.

"Anak Mama, kamu tidak salah. Mama yang seharusnya minta maaf karena tidak berhasil menjadi ibu yang baik buat kamu. Tidak bisa menjadi ibu yang baik seperti Mama Liska," ucap Tari mengusap kepala Zafia.

"Mama Tari yang terbaik. Mama selalu yang terbaik dalam artian yang berbeda menurut Zafia. Zafia sayang Mama," ucap Zafia memeluk pinggang Tari.

"Mama juga sayang kamu, Nak. Mama selalu sayang kamu," ucap Tari mengelus kepala Zafia. Air matanya terus keluar. Tak pernah di sangka sebelumnya kalau Zafia akan seperti ini. Memeluknya. Memanggilnya Mama. Mengatakan kalau dia menyayanginya.

"Kamu sudah makan? Kata Alfa perut kamu belum bisa di isi makanan, ya?" tanya Tari membantu Zafia bersandar di kasurnya.

Zafia mengangguk pelan. "Mungkin ini teguran buat Zafia karena perlakuan Zafia selama ini sama Mama. Allah masih sayang sama Zafia, karena Allah masih beri kesempatan Zafia buat dirawat sama Mama. Kata Kak Al, selepas Zafia keluar dari sini, Zafia akan ke Jakarta."

"Mama akan rawat kamu sebelum kamu pergi ke Jakarta. Kamu harus janji cepat sembuh, ya?" ucap Tari mengambil tisu di nakas samping kasur Zafia dan mengelap air mata Zafia.

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Where stories live. Discover now