40

12.9K 579 4
                                    


Happy Reading 🍂

"Ifa udah siap makannya?" tanya Zafia yang sudah berada di meja makan yang cukup besar di lantai bawah.

Zafia baru menyadari kalau rumah yang ia tempati ini memiliki tiga lantai. Kamar dia dan Alfa terletak di lantai paling atas, lantai tiga. Jadi, saat menuju kamarnya Zafia direpotkan dengan tempatnya yang jauh.

Tapi, tenang. Ada lift khusus yang hanya beberapa orang saja yang boleh menaikinya. Zafia dan Alfa adalah orang wajibnya. Sedangkan orang lainnya hanya beberapa saja yang boleh menaikinya.

Kamar Syifa sendiri berada di lantai dua. Di lantai itu terdapat beberapa ruangan yang mungkin sudah Alfa rancang untuk menjadi ruangan milik Syifa. Sedangkan ruangan di lantai tiga diisi dengan barang milik Alfa dan Zafia.

"Sudah, Bunda. Bunda dan Ayah kenapa lama turunnya? Ifa nggak sabar mau main di kamar. Tadi Ifa udah keliling sebentar, Bunda. Sama Bibik itu," ucap Syifa sambil menunjuk ART yang umurnya kisaran 35-an.

"Maaf, ya, Sayang. Tadi Bunda habis bangun tidur, jadi mandi dulu. Ifa kalau mau lihat-lihat lantai dua bisa pergi sama Bibinya dulu? Nanti Bunda nyusul," ucap Zafia sambil duduk di kursi sebelah Alfa.

"Iya, Bunda. Besok pagi kita ajak Kak Dinda keliling kamar Ifa, ya, Bunda? Nanti Kak Dinda pasti tersesat karena rumah Ifa gede ... banget," ucap Syifa sambil merentangkan tangannya dengan senyum mengembang.

"Iya, Sayang. Yaudah, Ifa ke kamar dulu sana. Nanti kalau jam sembilan Bunda belum ke sana, Ifa langsung tidur aja, ya? Jangan capek-capek keliling kamar. Kan masih ada hari besok," ucap Zafia sambil mengusap kepala Syifa.

Syifa menganggukkan kepalanya. Dia langsung berjalan ke arah ART dan menggandeng tangannya untuk pergi ke kamar. Dari raut wajah Syifa, sepertinya dia akan betah di sini.

Zafia tersenyum tipis sambil memandang Syifa. Pandangannya langsung beralih ke meja makan yang dipenuhi beraneka ragam jenis makanan. Tangannya mulai membalikkan piring dan menyendok nasi serta lauk-pauknya.

Gerakan tangan Zafia yang ingin memasukkan nasi ke mulutnya terhenti  saat menyadari Alfa belum meletakkan apa-apa di piringnya. Bahkan piring Alfa belum di balik sama sekali. Malahan matanya menatap Zafia intens.

"Kenapa?" tanya Zafia sambil memasukkan nasi ke mulutnya.

"Layani Kakak, dong, Zaf," ucap Alfa sambil melipat tangannya di atas meja.

"Ih, sok manis banget. Kak Al kan punya tangan, kenapa tak dipakek?" tanya Zafia sambil berdiri dan mengambil piring Alfa dan meletakkan beberapa makanan di atasnya.

"Kalau punya istri, kenapa harus susah-susah menyibukkan diri?" tanya Alfa dengan memamerkan gigi putihnya.

Zafia menyodorkan piring Alfa di hadapan Alfa, kemudian melanjutkan makannya yang sempat tertunda.

"Sepertinya jadi istri itu asik," ucap Zafia di sela menyendok makanannya.

Alfa yang mendengarnya menengadahkan wajahnya, menatap Zafia dengan kening mengkerut. "Kenapa tiba-tiba mengatakan itu?"

Zafia menggidikkan bahunya. "Entahlah. Kalau aku lihat Mama saat melayani Papa, sepertinya memang asik. Menyiapkan keperluan Papa dari makanan, peralatan kerja, dan entahlah apa lagi. Yang kulihat, sepertinya menyenangkan."

"Kamu mau melakukannya?" tanya Alfa.

"Aku bisa melakukannya?" tanya Zafia menghentikan sendoknya di depan mulut.

"Kenapa tidak?"

"Ya, aku kan masih siswi SMA, nih. Memangnya aku sudah mendapat gelar istri?" tanya Zafia sambil memasukkan nasi ke mulutnya.

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang