"Jawab ujiannya yang benar. Jangan terlalu terburu-buru, diteliti. Ingat! Nilai kamu menentukan jadi tidaknya kita beli motor untuk kamu," ucap Alfa memberikan semangat pagi untuk Zafia.

"Siap, Suami. Jadi, dua minggu lagi aku akan belajar naik motor, 'kan?" tanya Zafia antusias.

"Iya. Itu kalau nilai kamu di atas mendekati sempurna. Sampai ada nilai di bawah sembilan puluh, beli motornya ditunda sampai ujian kelulusan kamu," ucap Alfa sambil mengacak rambut Zafia.

"Siap-siap. Pokoknya, nilai kali ini harus bisa lebih baik dari Denzi. Aku akan balas dendam untuk nilaiku yang dulu," ucap Zafia dengan seringai lebar.

"Kamu jangan buat tantangan apapun dengan Denzi. Kakak kan udah bilang sama kamu, Kakak nggak suka kamu dekat dengan dia," ucap Alfa sambil melirik sinis Zafia.

"Nggak, Kakak Sayang. Istri imutmu ini akan jaga hati untuk Kakak tersayang," ucap Zafia sambil mencubit pelan hidung Alfa.

Alfa tersenyum senang untuk perlakuan Zafia itu. Ingin rasanya ia lebih lama lagi dengan istri kecilnya ini. Namun, kenyataan mengatakan untuk Alfa harus merelakan Zafia pergi. Karena mereka sudah sampai sekolah baru Zafia.

"Hati-hati di jalan, Kak Al. Semangat kerjanya. Nanti aku pulang lebih awal. Kak Al tak perlu jemput aku kalau tak sempat," ucap Zafia diakhiri dengan kecupan singkat di pipi Alfa.

"Nanti Kakak jemput. Kamu jangan pulang dulu sebelum Kakak datang, oke? Minta Dinda temani kamu kalau kamu takut sendiri," jawab Alfa sambil mencium pucuk kepala Zafia.

Zafia hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Dia mulai turun dari mobil dan berjalan ke depan pagar yang ternyata sudah ada Dinda di sana.

Zafia melambaikan tangannya ke arah mobil Alfa dengan senyum lebar. Alfa membunyikan klaksonnya dan mulai menjalankan mobilnya menjauhi sekolah Zafia.

"Gila, sih. Makin romantis aja kalian ini. Bikin iri," ucap Dinda menggandeng tangan Zafia menuju kelasnya.

"Jelas, dong," jawab Zafia dengan bangga.

"Eh, ya," ucap Zafia tiba-tiba. "Kelanjutan hubungan kamu dan Fikri bagaimana? Dia masih terus pdkt-in kamu atau udah ditembak?" tanya Zafia antusias.

Akibat bergaul dengan orang Jakarta, gaya bicara Zafia sedikit berubah. Mulai dari cara memanggilnya yang biasanya kau, kini kadang berubah jadi kamu. Namun masih sempat terselip kata kau di setiap katanya.

"Sssttt, diamlah, Fi. Lagi ujian sekarang, jangan buat moodku tiba-tiba kacau, deh," ucap Dinda mengerucutkan bibirnya.

"Hehe, canda, Din, canda. Ayo ke kelas," ajak Zafia dengan semangat.

***

Alfa baru saja sampai di kantornya. Dia melangkahkan kakinya menuju ruangannya yang berada di lantai delapan, lantai paling atas.

Selama perjalanan menuju ruangannya, tak ada yang berani menyapa ataupun menatap Alfa. Semua karyawan hanya berdiri dan menundukkan kepalanya, memberi hormat.

Alfa terkenal kejam juga dingin saat berada di kantor. Entah sejak kapan dia bersikap demikian, yang jelas sikapnya sangat bertolak belakang ketika di rumah.

Kakinya sudah sampai di ruangan kebanggaannya. Dia mendudukkan dirinya di meja kerjanya dan mulai berkutat dengan komputer. Tak lama dari itu sekretarisnya masuk untuk membacakan kegiatannya pagi ini.

"Saya tidak bisa pergi siang ini. Kamu batalkan pertemuan dengan kliennya atau ditunda sore hari," ucap Alfa mulai memberikan perintah pada sekretarisnya.

"Tapi, Pak? Klien dari Jepang ini sudah membuat janji dengan Bapak beberapa hari lalu. Bukannya tidak sopan kalau kita batalkan pertemuannya padahal beliau sudah meluangkan waktu untuk perusahaan kecil seperti kita?" tanya lelaki berjas hitam ini dengan nada hormat.

"Saya tidak peduli. Saya juga sudah ada janji dengan istri saya siang ini. Baiknya kamu merencanakan semuanya. Kalau memang ingin bertemu, kamu katakan pada mereka untuk menemui saya sore ini. Sekarang, kamu keluar dari ruangan saya," ucap Alfa dengan suara lebih tegas.

"B--baik, Pak."

Sekretaris Alfa itu segera berjalan menuju pintu. Saat tangannya ingin mendorong pintu tersebut, orang di luar lebih dulu menariknya hingga membuat tubuh itu hampir terhuyung.

"Lo nggak sopan banget sama gue! Lo nggak tahu gue siapa, hah? Lebih baik lo diam aja sebelum pemilik perusahaan ini mecat lo!" teriak wanita yang menarik pintu tadi.

Alfa mendongakkan kapalanya saat mendengar itu.

"Maaf, Pak. Mbak ini memaksa masuk, padahal kami sudah melarangnya dari bawah tadi," ucap salah seorang security yang mencoba menahan wanita itu.

"Maaf, Nyonya. Jangan membuat keributan di kantor ini. Kalau Anda ingin menemui Pak Alfa, Anda memang harus membuat janji terlebih dahulu," ucap sekretaris Alfa.

"Heh, lo! Lo juga mau dipecat, hah! Beraninya lo bilang gitu sama gue!" teriak wanita itu. Pandangannya langsung tertuju pada Alfa yang terduduk dengan raut bingungnya.

"Alfa, aku kangen banget sama kamu!" pekik wanita itu sambil berlari ke arah Alfa dan memeluknya.

Alfa yang masih belum mengetahui wanita itu reflek mendorongnya. "Siapa kamu? Berani sekali kamu memeluk saya di kantor saya sendiri!"

"Fa, ini aku, Siska. Siska temen SMP kamu dulu. Kamu masak lupa sama aku? Mentang-mentang dapat beasiswa di SMA dan universitas ternama di Jakarta, sampai kamu nikah dan pindah ke Medan, kamu jadi lupa sama aku," ucap wanita itu mengerucutkan bibirnya.

"Siska? Siska bocah tengil yang rambutnya selalu di kepang dua itu?" tanya Alfa dengan nada antusias.

"Nah, iya. Aku kira kamu udah lupa sama aku. Cuma jeleknya aja kamu ingat. Yang aku juara mewarnai saat Tk pasti kamu lupa?" tanya Siska.

Alfa tergelak, "Sorry, Sis. Bukannya lupa cuma nggak inget." Alfa memeluk Siska. Meluapkan rindu yang sempat dilupakannya pada teman masa kecilnya.

__________
Next@
Jngn lupa vote & komen 🤪

Gadis Kedua Guru Olahraga [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang