XX

14.1K 4.2K 379
                                    

Agni memilih hari yang salah untuk menagih janji.

Sayangnya, aku kan telanjur berjanji. Lagi pula, Agni sudah repot-repot ke kampus di tengah kesibukannya yang makin nggak masuk akal itu. Serius deh, aku nggak bisa membayangkan bagaimana dia mengatur waktunya. Malam kerja di TK, siang kerja di kantor event organizer. Belum lagi jam-jam kuliahnya. Kapan tidurnya? Kapan ngerjain tugas kuliah? Kapan punya waktu buat rebahan, ngelamun, dan melakukan hal-hal yang nggak berguna tapi bikin bahagia?

Well, itu urusan Agni sih. Kenapa juga aku ikut-ikutan memikirkannya?

Karena aku nggak enak buat menolak, dan nggak tahu juga kapan Agni bisa meluangkan waktu lagi, kuturuti saja ajakan Agni untuk traktiran makan sekarang.

"Mau makan yang lain nggak, Mon?" tanya Agni. "Yang jauhan juga nggak apa-apa, kok. Gue bawa kendaraan."

"Oh? Iya, boleh. Kak Agni maunya makan di mana?" tanyaku.

"Lho, kok gue? Terserah yang mau traktir dong."

"Oh gitu yaa ... hmm ... di mana yaa ...."

Duh, yang begini saja rasanya sudah bikin kepalaku pusing dan badanku makin sakit-sakit.

"Gue nggak tahu, Kak. Nggak ada ide. Ngikut aja, deh," jawabku akhirnya.

Dengan langkah terseok aku mengikuti langkah Agni. Setelah perkumpulan nostalgia kepanitiaan tadi berakhir, Agni langsung menodongku untuk pergi dengannya. Sebenarnya aku juga nggak tahu ini mau ke mana, tapi kuduga kami menuju parkiran mahasiswa di seberang kampus, mengingat tadi Agni bilang bawa kendaraan.

"Lo lagi pengin makan apa, Mon?" tanya Agni.

Makan apa ... makan apa ...

Kuputar otakku, bertanya-tanya apa yang ingin kumakan di saat tubuh terasa nggak karuan ini? Apa yang kira-kira bisa jadi penghiburan saat sendi-sendiku rasanya seperti habis dipukuli begini? Apa yang kira-kira enak dimakan supaya perutku yang rasanya kayak digilas ini bisa lebih nyaman?

"Mon?"

"Umm ..."

Kami mendadak berhenti. Sebenarnya, Agni yang mendadak berhenti di samping sebuah Toyota Rush warna putih, dan aku mau nggak mau ikut berhenti di sampingnya.

Agni menatapku dengan dahi berkerut. "Kok kayaknya lo nggak semangat gitu, Mon? Lo kayak nggak senang gitu pergi bareng gue?"

"Ah, gue ... anu ... duh, gimana yaa ...." Bingung harus menjawab apa, aku hanya bisa meringis. Agaknya itu sudah cukup menjawab pertanyaan Agni.

"Yah ...." Raut wajah Agni seketika terlihat kecewa. "Kenapa, Mon? Tadi gue ada salah ngomong, ya, di kantin? Gue bercandanya kelewatan, ya?"

"Eh nggak kok, nggak!" jawabku buru-buru. "Bukan itu, Kak. Gue cuma ... yah, sebenarnya ini waktu yang kurang pas aja."

"Karena?"

"Euh ... karena ... karena ...." Aku mendesah putus asa. "Gue nggak enak badan, Kak."

"Hah? Lo lagi sakit?"

Entah refleks entah apa, Agni menempelkan telapak tangannya ke dahiku.

"Nggak, kok," aku buru-buru menyingkirkan tangan Agni dari dahiku. "Bukannya sakit yang ituuu ...."

"Terus?"

"Anu ... gue itu ...." Kepalaku mendadak gatal. Tapi mungkin itu karena memang sudah waktunya keramas, sih. "Lagi dapet, Kak."

"Hah?"

"Iya, jadi gue kalau lagi dapet itu badan rasanya nggak karuan. Sakit semua. Pinggang udah kayak mau copot. Dan perut udah kayak diremas-remas plus dipluntir sama tangan raksasa. Kadang malah rasanya kayak lagi meriang. Jadi ...." Tunggu, Mon. Apa ini nggak too much information? "Yah ... pokoknya ... gitulah, Kak."

DIHAPUS - Di Mimpi Tempat Kita BerjumpaWhere stories live. Discover now