IX

15.8K 3.9K 256
                                    

Rasanya seperti melihat bagian-bagian dari mimpiku. Ketika pickup itu melintas dan Agni berjalan sedikit ke tengah, aku bahkan bisa mencium aroma darah, asap, dan tulang yang retak. Keduanya meluncur cepat ke otakku, mengirim sinyal-sinyal kesedihan dan putus asa. Tenggorokanku tersekat dan tanganku berkeringat. Jantungku berdebar-debar sampai terasa sakit, dan pelipis kananku terasa nyeri. Aku ngeri karena aku seperti tak berdaya untuk melakukan apa-apa.

Wajah Agni terlihat pucat pasi, bahkan dari jarak di mana aku berdiri. Kurasa dia sama terkejutnya denganku dan semua orang. Namun, aku masih yakin dia memang sengaja berjalan ke tengah saat pickup itu melintas.

Tunggu. Jangan-jangan sekarang ini aku ada di alam mimpi? Kucubit tanganku sendiri, dan rasanya sakit.

Sebelum kutemukan jawaban pasti, pandangan Agni menemukanku. Selama dua detik, aku bingung harus bagaimana. Haruskah aku pura-pura nggak kenal dia? Haruskah aku menyapanya biasa seolah nggak melihat apa-apa? Atau haruskah aku bertanya apakah dia baik-baik saja? Atau langsung labrak aja dan menanyakan hal gila apa yang baru saja dia coba lakukan?

Lagi-lagi, sebelum aku menentukan sikap, Agni tersenyum lebar.

"Mon," sapanya, saat aku berjalan mendekat. "Lo tadi lihat nggak kehebohan yang gue bikin?" tanyanya, dengan cengiran lebar di wajah.

Aku mengerutkan dahi. Bagaimana bisa seseorang mengganti ekspresi semudah ini? Seolah-olah Agni punya tombol-tombol otomatis dalam dirinya untuk mengubah ekspresi segampang memindah channel di TV. Seolah kejadian barusan adalah kekonyolan yang patut ditertawakan. Mungkin aku akan tertawa kalau aku nggak pernah melihat kejadian-kejadian serupa di mimpiku.

"Hati-hati, Kak," kataku masih sedikit kelu.

"Gila gue ngantuk banget!" keluhnya. "Semalam cuma tidur dua jam. Jadi nggak konsentrasi. Eh, lo mau ke mana ini?"

Kini kami berdiri di pinggir jalan. Di tepi trotoar, menghindari orang-orang berlalu lalang.

"Mau nyamperin Kak Agni ... tadi," jawabku awkward. "Kak Agni nggak ke kampus?"

"Gue mau ke Pandawa FM, ngurusin soal media partner Dies Natalis."

Aku ber-oh pendek. "Kok nggak sama Kak Wanda?"

Giliran Agni yang mengerutkan dahi. "Lo nggak buka grup WA?"

"Grup WA?"

"Grup WA panitia Dies Natalis, Mon."

"Oh! Iya!" Kutepuk dahi dengan gusar.

Aku ingat semalam aku shock mendapati puluhan chat di aplikasi WhatsApp-ku. Ternyata Agni telah memasukkanku dalam grup WA Panitia Dies Natalis. Aku, yang biasanya hanya membuka WAG kelas untuk cek informasi kuliah, mendadak kelimpungan dengan banyaknya obrolan ringan menjurus receh di grup kepanitiaan. Mereka bahkan membahas soal aktor Hollywood dengan pantat terseksi. Duh. Aku bingung mau ikut ngobrol dari mana.

"Baca, kok. Tapi gue lupa," jawabku sembari nyengir.

"Wanda lagi ada kuis, nggak bisa ditinggal. Tadinya gue mau hubungin lo buat gantiin Wanda ketemu sama orang Pandawa FM, Mon, tapi gue kan nggak tahu lo ada kuliah atau nggak. Ya udah, gue aja yang pergi daripada kelamaan." Agni memandangku dengan mata menyipit. "Lo nggak ke kampus?"

Aku menggeleng. "Harusnya ada kelas Penologi Dasar. Tapi kelas dibatalin."

Agni bertepuk tangan semangat. "Kebetulan! Kalau gitu ... mau ikut gue ke Pandawa FM?"

"Sekarang banget?"

Agni mengangguk. "Dekat kok kantornya. Di dekat apartemen situ. Jalan kaki aja kita."

DIHAPUS - Di Mimpi Tempat Kita BerjumpaWhere stories live. Discover now