XVII

13.6K 3.9K 360
                                    

"Dari sekian banyak tempat kerja part time, kenapa lo pilih kerja di diskotek?" tanyaku.

Agni yang sedang memakai jaket kulitnya mengangkat alis.

"Kenapa emangnya?" Dia balas bertanya.

"Kan diskotek jam kerjanya malam. Semalaman. Siangnya lo harus kuliah. Kapan istirahatnya?"

Agni nyengir. "Kalau terbiasa dengan jam kerja kayak gitu, lo bakalan jago manfaatin waktu seminim apa pun buat istirahat yang berkualitas."

Aku ber-oh panjang, meski nggak benar-benar paham.

Siang ini, aku janji mempertemukan Agni dengan Narita untuk acara per-YouTube-an itu. Well, sebenarnya sih mereka bisa ketemuan sendiri tanpa aku. Namun, karena tadi aku nggak sengaja bertemu Agni selesai kuliah, dan karena aku yang memperkenalkan mereka berdua, kurasa nggak ada salahnya aku ikut sebentar untuk memperkenalkan mereka, sebelum aku harus pergi ke Kedai Kita untuk bekerja.

Kami menunggu di lobi perpustakaan. Di sana ada beberapa sofa nyaman untuk para pengunjung. Narita belum datang. Bukan salahnya juga sih, karena mereka janjian pukul empat, sementara sekarang baru pukul tiga lewat sedikit. Kata Agni, dia juga sedang nggak punya urusan lain. Lumayan siapa tahu di perpus bisa tidur bentar, begitu katanya tadi.

"Bartender itu penghasilannya lumayan," kata Agni kemudian.

Setelah memakai jaket karena AC perpustakaan membuatnya kedinginan, Agni duduk di sebelahku, lalu mengeluarkan kotak permen frozz rasa mint dari saku jaket, menuang beberapa butir ke tangan dan mengunyahnya, lalu menawarkannya padaku. Aku menggeleng, permen bukanlah seleraku.

"Ya gajinya standar, sih. Tapi gue bisa dapat uang tip yang lumayan," tambahnya lagi sambil nyengir. "Plus, di tempat gue kerja, gajiannya per minggu."

"Ih, enak banget!"

"Ya, kan? Alasan apa lagi yang gue butuhin coba?"

"Tapi nggak capek gitu?"

Kali ini Agni menyengir. "Kerja apa sih yang nggak capek, Mon?"

Benar juga sih. Kalau dipikir-pikir, meski cuma diam di belakang kasir mengatur buku-buku, aku juga sering kecapekan sepulang kerja. Apalagi kalau sampai kos-kosan masih harus mengerjakan tugas atau belajar untuk ujian.

"Tapi lo keren, masih bisa aktif di kegiatan kampus gitu. Energinya nggak terbatas, ya, Kak?"

"Sengaja. Biar gue nggak lupa kalau gue masih anak kuliahan," jawab Agni sembari tertawa.

Aku berdecak. "Tapi kok lo bisa jadi bartender sih, Kak?"

"Hmm? Maksudnya?"

Aku mengedikkan bahu. "Yaa ... bartender kan nggak sesederhana lo bikinin es teh buat pelanggan. Ada skill-nya nggak sih? Nggak jauh beda kayak barista gitu. Lo juga bisa ngelakuin ... apa tuh namanya? Yang bikin minuman pake atraksi kayak lempar-lempar botol?"

"Juggling."

"Iya, itu. Susah nggak sih? Terus, bartender kan juga tugasnya bikin inovasi campuran minuman gitu. Apa sih namanya itu? Mi ... mi ...."

"Mixologist."

"Ya itulah pokoknya. Eh, mixologist beda sama bartender?"

"Mixologist lebih ke konseptor. Yang bikin konsep minuman di balik layar. Bartender eksekutornya." Agni menyipitkan mata saat memandangku. "Gue nggak nyangka lo tahu banyak soal bartender. Riset dulu, ya?"

Tertangkap basah, aku tertawa kecil.

"Tahu aja lo, Kak. Kan biar kita punya bahan obrolan gitu. Makanya gue riset dulu," jawabku asal. "Jadinya obrolan kita bisa nyambung."

DIHAPUS - Di Mimpi Tempat Kita Berjumpaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن