V

16K 3.9K 222
                                    

Rumah nggak pernah lagi menjadi rumah untukku. Aku tahu mengapa hal itu bisa terjadi, tetapi nggak tahu bagaimana mengatasinya. Dulu, aku biasa menghabiskan sore dengan duduk di teras bersama Papa, sembari menatap lalu-lalang kendaraan. Kadang kami juga berdiskusi tentang hal-hal menarik, misalnya mana yang lebih menguntungkan antara menanam cabai atau vanili. Bisa juga tentang bagaimana hidroponik dan metode pertanian tanpa lahan lainnya perlu segera dikembangkan kalau kita nggak mau kelaparan di masa depan.

Ketika kubilang pulang ke Bandung, yang kumaksud sebenarnya adalah Kabupaten Bandung. Tepatnya Ciwidey. Papa tadinya seorang dosen di jurusan pertanian. Namun, empat tahun lalu, Papa memilih untuk melepaskan profesinya, dan mengajak kami pindah dari Bogor ke Ciwidey, untuk menempati rumah lawas peninggalan kakek yang terbengkalai. Sejak saat itu, Papa memutuskan untuk fokus mengurus lahan pertaniannya di daerah Cicalengka dan Cianjur. Saat nggak memantau sawahnya di kedua lokasi tersebut, Papa menanam berbagai tanaman bumbu di garasi rumah dengan sistem hidroponik atau beternak ikan mas di belakang rumah.

Sementara itu, Kak Lyra yang lulusan sekolah kuliner di Jakarta, membuka bakery kecil-kecilan di depan rumah. Dulu Kak Lyra sempat mendapat tawaran untuk menjadi pastry chef di sebuah hotel internasional di Bali. Namun, meninggalnya Mama membuat Kak Lyra memutuskan untuk tetap bersama aku dan Papa. Pilihan itu mungkin terlihat worth to buy, kalau mengingat sekarang Kak Lyra dan Papa sering berkolaborasi membuat cake-cake sayur organik untuk di jual di bakery yang cukup laris.

Sekilas terdengar, suasana rumahku sangat menyenangkan, bukan? Jika belum jelas, bayangkan aroma manis roti yang melimpah sepanjang hari dari dapur Kak Lyra. Lalu bayangkan pula menu sayur dan ikan segar plus organik di meja makan. Di pagi hari pula, akan terdengar suara Papa menyanyi lagu-lagu berbahasa Sunda sembari mengurus tanaman-tanamannya.

Suasana rumah yang hangat dan menyenangkan, membuat hati tenteram. Seharusnya, itulah yang kurasakan. Namun, aku tak tahu apa yang salah dengan diriku ini. Situasi rumah yang hangat dan penuh wangi kue justru terasa seperti ruangan sempit dengan pasokan oksigen yang tipis. Saluran napasku seolah menyempit, dan aku mulai terasa seperti terhimpit. Itulah yang kurasakan setiap kali pulang ke rumah.

"Kok udahan makannya, Neng?" Papa bertanya ketika aku berdiri dari kursi tempatku duduk di meja makan malam. "Pepes ikan masnya masih ada, lho."

"Monik udah kenyang, Pa," jawabku beralasan.

"Mana ada kenyang? Kamu baru makan setengah centong juga belum habis."

"Kurang enak, Mon, masakan Kakak?" kali ini Kak Lyra bertanya.

"Enggak, kok!" jawabku buru-buru. "Enak banget. Perutku aja kayaknya yang lagi nggak enak. Tadi siang, supir travelnya bawa mobilnya ugal-ugalan banget. Sampai sekarang aku masih mual."

"Mau dibikinin teh?" tawar Kak Lyra. "Di toko ada artisan tea dari Yoshi. Enak, lho. Kamu harus coba yang namanya Bungah. Segar banget!"

Yoshi adalah nama pacar Kak Lyra sejak dua tahun lalu. Ia adalah peracik teh sekaligus pemilik coffee shop di Bandung Kota. Sebuah kombinasi yang aneh memang, karena biasanya peminum teh nggak minum kopi dan sebaliknya.

"Ntar Monik bikin sendiri aja, Kak," jawabku, sembari berlalu ke dapur untuk mencuci piring bekas makanku.

Di malam hari penghuni rumah ini hanya tiga orang, yaitu kami. Dua orang, jika aku sedang berada di Jakarta. Memang sih, dari pagi sampai siang rumah ini ramai dengan karyawan-karyawan Kak Lyra. Ada juga Bi Eha, pengurus rumah tangga yang membantu Kak Lyra mengurus rumah.

Dari jarak jauh, keluargaku bisa menjadi potret keluarga kecil yang hangat dan bahagia. Namun, dari jarak dekat, aku bisa melihat luka-luka itu masih menganga dan meneteskan darah. Terlebih aku tahu, bahwa akulah penyebab dari luka-luka itu. Akulah yang menjadi pemicu atas banyaknya perubahan di keluarga ini. Jadi, bagaimana bisa aku tetap baik-baik saja di sini?

DIHAPUS - Di Mimpi Tempat Kita BerjumpaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang