VII

15.8K 4K 514
                                    

Kudengar kemampuan supranatural ada banyak jenisnya. Ada yang bisa menggerakkan benda-benda tanpa menyentuhnya, alias telekinesis. Ada yang bisa membaca pikiran orang lain alias mind reader, atau ada juga indigo yang bisa melihat hal-hal yang nggak dilihat orang lain.

Aku nggak yakin apakah mimpi-mimpi absurd-ku termasuk kemampuan supranatural, tetapi di saat seperti ini, aku iri dengan mereka yang punya kemampuan teleportasi. Dari tadi aku berharap lantai atau tembok menelanku hidup-hidup, tetapi nggak ada yang terjadi. Aku tetap ada di sini, di kantin, di antara Ragil, Agni, dan beberapa orang asing yang menatapku dengan ekspresi aneh. Aku ingin kabur dan pura-pura bahwa yang barusan itu nggak terjadi. Sayangnya, aku juga nggak punya kekuatan untuk menghapus ingatan dari para saksi mata tragedi hari ini. Apa gunanya menghapus ingatanku sendiri kalau orang-orang masih bisa mengingatnya?

Kulirik Ragil yang masih cengar-cengir tanpa rasa bersalah. Biasanya aku bahkan nggak tega membiarkan kecoak tetap terbalik sampai mati. Namun, baru kali ini ada orang yang begitu membangkitkan sisi psikopat dalam diriku. Rasanya aku ingin menjambak rambut Ragil, menjenggutkan dahinya ke meja, membekap mulutnya dengan sepatuku sampai mati, lalu memotong-motong tubuhnya, membakar sisanya, dan menaburkan abunya di danau kampus. Teman macam apa, sih, Ragil itu?

"Wah, Gil, yang bener aja lo? Kalau bercanda jangan kelewatan dong." Agni berdecak. Lalu dia menatapku sembari tersenyum penuh pemakluman. "Santai, Mon, santai. Nggak usah dipikirin. Gue tahu Ragil nggak serius, kok."

Wah, ternyata benar kata Ragil. Agni sangat baik hati. Dan sangat dewasa. Gelar yang terakhir itu, khusus kuberikan sendiri padanya. Kalau aku jadi dia, ditodong terang-terangan begini, di hadapan banyak orang, entah bercanda ataupun serius, pasti akan sangat kesal dan terganggu.

"Tapi kalau lo kesal sama Ragil, ya, tabokin aja, Mon. Emang dia bercandanya kadang kelewatan."

"Eh, tapi itu serius kok, Kak."

Bukan Ragil yang mengatakannya, melainkan aku. Ya, aku dan pikiran bodohku ini.

Lagi-lagi keheningan menyelimuti meja yang belum penuh itu. Nggak lama kemudian, orang-orang di sana mulai bereaksi. Ada yang bersiul-siul, ada pula yang mengompori.

"Ya elah, lagi-lagi gue kudu lihat pemandangan Agni ditembak cewek ...." gerutu cowok yang berambut keriting.

Mataku membeliak kaget. "Enggak! Gue nggak nembak, kok!" kataku buru-buru. "Tapi nggak berarti apa yang Ragil bilang itu nggak serius. Tapi gue nggak nembak! Sumpah!"

Ragil menepuk-nepuk pundakku, meyakinkanku bahwa aku baru saja menggali kuburku sendiri.

Agni memandangku dengan mata menyipit. "Maksudnya, lo beneran naksir gue gitu? Kayak kata Ragil?"

Aku mengangguk. "Apa itu masalah?"

Agni tersenyum ramah, lalu menggeleng. "Nggak, kok. Naksir orang lain kan hak segala bangsa."

Aku menjentikkan jari semangat. "Benar! Lagian Kak Agni itu baik hati. Mau direpotin buat mengantarkan Paduka dengan selamat sampai kos-kosan Ragil. Ramah sama siapa pun, termasuk Kang Fotokopi di perpus. Dan yang terpenting, Kak Agni ganteng kayak Omar Daniel." Sampai di sini, aku sadar bahwa ocehanku semakin ngelantur. "Ya pokoknya gitulah! Intinya sih, buat naksir Kak Agni itu as easy as ABC! Ada banyak alasan pendukungnya."

Agni tertawa kecil, tetapi ekspresinya tetap santuy. Aku jadi percaya bahwa, seperti kata temannya tadi, Agni sudah banyak mengalami momen "ditembak" cewek semacam ini.

"Terus, ini maunya gimana, Mon?" tanya Agni. "Tadi katanya ini bukan nembak. Ibarat bikin makalah, tujuan penelitiannya apaan nih?"

Aku mengiakan buru-buru. "Iya, bukan nembak kok! Bukan. Ya udah, nggak gimana-gimana, Kak. Cuma mengutarakan isi hati aja. Nggak ada tujuan penelitian. Ini bukan makalah, Kak. Jadi, nggak butuh feedback. Ini lebih kayak cuitan random di Twitter yang nggak harus ditanggapi. Soalnya ... pokoknya gitulah! Makasih atas waktunya. Maaf, ya, mengganggu. Selamat rapat!"

DIHAPUS - Di Mimpi Tempat Kita BerjumpaWhere stories live. Discover now