30. Namanya kayak ikan

1.3K 186 25
                                    


⚠️ Peringatan content rada 🔞 ⚠️

🌻🌻🌻

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 2 malam. Aku tidak bisa tidur sudah berusaha memejamkan mata selama satu jam. Yang aku lakukan hanyalah bersembunyi ke dalam selimut pura-pura mengabaikan perasaan gelisah di dada dengan debaran yang tak bisa ditahan ini. Satu jam lalu gara-gara aku mendengar suara misterius dan aneh dari pohon depan kamarku. Mana di jendela itu ada cahaya dari lampu yang membuat bayangan horor.

Seharusnya aku tidak memilih kamar yang memiliki jendela berhadapan dengan pohon menyeramkan seperti ini. Pohon adalah tempat wajib para makhluk halus buat nongkrong.
Tapi, tadi siang aku juga sudah merebut kamar ini dari Rifando, sebab di kamar sebelah ada lukisan besar menyeramkan. Lukisan gambar penari dengan mata melebar. Tidak tahu mengapa perasaanku seperti sedang diperhatikan olehnya. Yap, lima menit di dalam kamar itu aku langsung cabut ngerebut kamar ini dari Rifando. Apa jadinya kalau aku ketahuan Rifando sedang ketakutan sendirian di kamar ini. Huh, memalukan!

Aku tidak bisa diam saja di dalam kamar ketakutan begini. Dengan keberanian yang tersisa aku bangun dari posisi rebahanku tanpa menoleh ke arah jendela. Aku membawa selimut putih tipis, bantal guling, dan bantal persegi panjang keluar dari kamar itu. Di ruang TV ada kasur tipis yang tadi digunakan untuk kami bermain game. Untungnya kasur itu tidak dilipat oleh Rifando.

Aku mengambil remot TV langsung mengecilkan sampai volumenya kecil. Di layar TV menayangkan acara film komedi tahun 90an. Aku semakin merinding mengingat pemain filmnya sudah banyak yang meninggal. Sialan, aku parnoan. Tanganku mengganti kanal ke lainnya dan menampilkan sinetron tengah malam. Aku mengambil roti di meja dan membukanya, harus ada hormon bahagia yang perlu aku bangunkan agar bisa berhenti berpikir ketakutan dan negatif mulu.

Saatnya lapar tengah malam aku membuka plastik roti sambil sandaran di bawah kaki sofa, selimutan setengah badan, dan memeluk guling. Aku menyobek roti lalu menyuapkannya ke mulut. Dengan posisi seperti ini aku sudah cukup tenang ditemani oleh suara pelan TV.

Suara pintu terbuka disertai kemunculan sosok lelaki berkaus hitam dan celana pendek membuatku nyaris terjungkal dan syok berat. Aku sempat megap-megap menahan degub jantung kala bertatapan mata dengan pria jangkung berkulit putih bersih bersinar itu.

Rifando melongo melihatku yang lagi makan roti sambil selimutan. "Kamu ngapain di luar? Tumben nggak tidur?" tanya Rifando sambil menutup pintu dan mendekati posisiku.

"Di kamar panas, padahal udah pake kipas. Hm, bohong deh, tadi ada suara aneh dan takut aja. Aku ke sini deh. Kamu ngapain?" tanyaku heran.

"Oh, aku denger suara TV nyala. Takutnya aku lupa matiin, tapi kan nggak mungkin. Aku denger suara plastik makanan juga, tahunya kamu yang lagi di sini." Rifando terkekeh masuk ke dalam kasur tipis ini, dia duduk di sebelahku sandaran juga pada kaki sofa.

"Kamu ngapain ke sini? Balik sana! Nanti aku nggak bisa tidur," cetusku galak.

Rifando sangat usil ketika menarik selimut dan ikutan masuk ke dalam selimutku. "Dingin kalo nggak selimutan," ucapnya.

"Pergi sana!" seruku sambil mendorong tubuhnya namun tak akan bisa membuatnya menjauh.

Rifando semakin menempel padaku dan kami satu selimut. Cowok itu melihat bantal yang aku bawa. Dia meraihnya dan meletakkan di atas kasur lipat sebelahnya.

"Mau nggak bisa tidur atau nggak tidur?" tanya Rifando tersenyum miring sambil memainkan rambutku yang keluar dari ikatannya.

Aku meneguk ludah saat Rifando mulai resek menahan tangannya pada bahuku lalu memajukan tubuhnya. Dengan kekuatanku bisa menahan tubuhnya dan mendorong.

TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang