27. Obat

1.7K 223 46
                                    

Acara makan bersama Rifando sudah selesai, kini tugasku adalah membersihkan piring-piring di westafel. Di dekat westafel ada beberapa gelas yang kotor bekas kopi sampai bubuknya sudah mengeras. Aku hanya mendecak saja mengetahui betapa malasnya Rifando membersihkan gelas-gelas yang sudah digunakan. Aku tadi hanya membersihkan dalam termos belum membersihkan alat makan yang kotor lainnya. Bisa dibayangkan beberapa bulan lagi rumah ini sungguhan akan menjadi rumah hantu dengan sarang laba-laba, akar pohon beringin yang menjalar, dan lumut.

Di meja Rifando masih duduk diam saja tanpa banyak bicara. Tadi kami menghabiskan makanan kecil sambil ngopi biar aku tidak mengantuk, dengan perbincangan kecil-kecil saja agar suasana tidak aneh banget. Sebab rumah Rifando sangat sepi dan hawanya dingin.

“Kamu mandi atau siap-siap dulu sana, nanti kita berangkat naik taksi online aja.” Aku mulai menyuci piring tak menoleh padanya.

Tiba-tiba ada sebuah tangan melingkar di pinggangku mengejutkan. Aku terperanjat mengira itu kelakuan setan rumah. Ketika menoleh sudah terbentur tubuh Rifando yang menempel di belakangku.

“Doyi, kamu lagi ngapain? Udah deh kamu rapi-rapi biar bisa langsung berangkat setelah aku selesai nyuci piringnya,” ucapku gugup karena ulahnya saat ini.

Kelakuan Rifando itu suka nekat, apalagi suasana mendukung begini. Dulu kami sudah pernah berciuman bibir, makanya aku takut akan terulang lagi sekarang. Dulu dia bisa nekat, bagaimana sekarang suasana mendukung sekali di rumah ini. Walau aku tidak cantik, siapa tahu dia ketagihan dengan bibirku. Rifando diam saja dengan raut wajah lempengnya. Namun, tangannya masih melingkar di pinggangku. Kepalanya menempel di atas kepalaku. Berat. Tidak lama dia diam lalu suaranya berbunyi.

“Andah, obatku kayaknya kamu deh. Nggak usah ke klinik nggak apa-apa, tapi kamu nemenin aku  di sini ya? Nginep?”

Aku menoleh kasar sampai tangan Rifando melepaskan pelukannya. Aku dengan gemas menyentil kening pemuda itu. “Jangan ngaco! Nggak akan dibolehin sama Bunda. Jangan ngomong yang aneh-aneh! Badanmu masih panas, makanya ngaco banget ya? Kayak anak kecil kalo panas ngomongnya kayak orang ngigo. Mundur, jangan ganggu aku nyuci piring! Mau aku sabunin kepala kamu? Sini wajahmu aku gosok pake spon steel wool.”

Telapak tangan lebar Rifando menempel di puncak kepalaku disertai tertawa renyah darinya. “Iya, aku mandi dulu sebentar ya. Jangan takut di bawah sendirian. Kalo takut ke kamarku aja!”

“Fando maaaaaah! Jangan nakutin!” seruku langsung diserang kepanikan melihatnya lari cepat menuju tangga rumahnya sambil tertawa usil. “Ish, Doyi resek!”

Aku buru-buru membersihkan piring yang lainnya secepat kilat. Bayangan menyeramkan sudah muncul silih berganti, apalagi adegan-adegan yang aku ingat dari seluruh film horor mendadak muncul begitu saja dalam pikiranku. Bayangan kuntilanak, pocong, sampai Valak yang seramnya amit-amit itu langsung muncul sengan jelasnya. Mengapa saat takut bayangan imajinasi semakin menjadi-jadi? Ini pasti gara-gara Rifando yang bikin sugesti menyeramkan. Mana suasana habis hujan begini sepi banget di jalanan depan rumahnya.

Aku jadi takut banget mulai gusar buru-buru ingin cepat kabur dari dapur dan nongkrong di ruang TV saja. Setelah menyelesaikan tugas mencuci piring, aku mengambil tas kabur ke ruangan depan dan menyalakan TV. Tempat ini membuatku mendadak sesak, dengan pikiranku terlintas seperti kembali ke masa lalu.

🌻🌻🌻

“Tante Emma!” Begitu aku masuk ke rumah itu sudah ada perempuan paruh baya berambut sebahu model shaggy menyambut. Aku memeluk perempuan yang berdiri dengan satu tongkat di sisi kanannya. Dengan penuh kerinduan aku menghirup aroma tubuhnya yang wangi. Perempuan ini sudah aku anggap sebagai Ibu sendiri, ibu kedua.

TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang