29. Deeptalk

1.7K 198 29
                                    

Kami menikmati suasana sore sampai langit menggelap. Saat langit sudah benar-benar gelap kami kembali ke villa untuk mandi membersihkan diri, bersiap untuk makan malam yang disiapkan oleh Ibu Ayu. Kali ini Rifando tak membiarkan aku bantuin, katanya biar aku bisa menikmati waktu buat senang-senang. Biasanya aku yang sering bantu-bantu Mamanya memasak di rumah.

Tepat jam 7 malam masakan sudah tersaji di meja. Malam ini aku bergaya santai saja dengan kaus berlengan sepanjang siku dan celana pendek selutut. Di meja sudah ada makanan tersaji. Tidak banyak jenisnya, ya aku juga heran kalau terlalu banyak makanan nanti tidak bisa habis. Di meja ada sayur kesukaan Rifando, sayur sop ayam, tempe goreng, sambal, dan ayam.

“Makan yang banyak, Ndah,” kata Rifando sambil menyendokan nasi super banyak ke piring.

“Udah! Udah!” Aku menyentuh tangannya, langsung segera menarik lagi sebelum suasana kikuk diam-diam merayap lalu datang seekor nyamuk.

“Udah lama nggak makan bareng begini ya? Padahal dulu kamu sering main ke rumah buat nemenin Mama masak,” ujar Rifando membuatku jadi teringat momen itu.

“Emang kamu mau makan apa kira-kira? Aku nanya doang sih.”

“Inget nggak waktu bikin kue bolu?”

“Enak ya jadi kamu, makan banyak enggak bisa gendut.” Aku memanyunkan bibir.

Dia tertawa pelan. “Ya udah aku yang makan, kamu bikin aja.”

“Males banget, wleeek!”

Acara makan malam berjalan menyenangkan. Cowok itu beberapa kali melihat ponselnya sambil makan. Aku yang kepergok mendapati dirinya sibuk melihat ke ponsel membuat cowok berhoodie navy itu menjadi pucat pasi.

“Maaf ya, ini divisi kepanitiaan acara seminar tiba-tiba lagi rame ribut banget nih.” Rifando bercerita tanpa diminta seakan bisa membaca raut wajah penasaranku.

"Nggak apa-apa kalo kamu nyari match Tinder di sini. Ya nggak apa-apa nyari yang cantik dan lebih baik lagi," celetukku sinis.

"Sumpah, aku nggak nyari kenalan atau apalah. Aku nggak kayak dulu. Beneran ini Kepanitiaan, nih cek sendiri kalo nggak percaya."

“Kepanitiaan mulu, udah mau sidang, Doy!”

“Skripsi aman kok.”

Aku tidak menuduhnya sedang ngirim pesan sama cewek lain kok. Cuma kegiatannya makan sambil main hape itu cukup membuatku terganggu. Aku tak terlalu suka kalau makan diganggu. Baru berpikir seperti itu muncul panggilan video call dari kontak Rafel. Aku tak menggubris sama sekali, ngapain dia video call? Kalau memang bisa panggilan suara. Aku kan lagi sibuk makan.

Rifando memasang wajah penasaran mendongak untuk melihat nama di ponselku. Kami jadi saling bertatapan, kemudian kepala pemuda itu mengendikkan ke arah ponselku yang sudah mati.

“Nggak diangkat? Kali aja ada kabar penting mendadak,” kata Rifando melihat ponsel di mejanya. “Tuhkan kamu nggak ngangkat, si Kelvin sama Rafel ngechat aku nanyain kamu lagi ngapain. Andah, ngapain sih nggak angkat? Lagi boker ya? Ini dari si Kelvin. Bang, sibuk amat si Kak Andah, kalian ngapain sih? Ehem, eheem. Ini Rafel kok ngeselin ya??” Rifando membacakan pesan di hapenya.

“Bilang aku lagi makan enggak mau diganggu. Mereka tahu kok aku kalo makan nggak bakal pegang hape,” jawabku. “Kalo ada apa-apa bilang ke kamu aja dulu. Rafel itu emang mulutnya ngeselin.”

“Hmmm, katanya cuma nanya aja. Kata Kelvin si Rafel kangen sama kamu,” kekeh Rifando pasti dia juga berpikir itu hal yang mustahil banget.

“Tapi Rafel bilang Kelvin kangen kamu. Kenapa sih kedua sodaramu ini, Ndah?”

TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang