8. Bagai semua ikut berhenti

1.9K 274 69
                                    

Di sudut paling pojok dekat tirai jendela yang tertutup itu di dalam ruangan ICCU itu aku mengerjapkan mata tak percaya melihat Tante Emma tertidur pulas dengan alat-alat mesin menyala dan selang yang terpasang itu membuat hatiku miris ingin menangis lagi. Dua kasur lainnya yang berjarak lumayan jauh berisi pasien dengan penjaganya satu orang.

"Memang beda ya, tangan kamu sama Mama ada efek magis," kata Rifando sambil menerawang berdiri di sebelahku.

Aku mengernyitkan dahi tidak paham dengan ucapannya. Suasana di antara kami menjadi kikuk hanya suara deru napas kami yang tak bisa ditahan dan Rifando diam saja menahan tangisannya lagi.

Cowok itu kemudian mengusap wajahnya dengan lengan tangan kanannya. "Boleh peluk?" tanyanya dengan nada suara takut dan ragu. Dia menatapku menunggu aku memberikan reaksi atas permintaannya.

Kepalaku mengangguk lemah. Tangan Rifando melingkar kepadaku dari sisi samping. Lalu dia menyandarkan kepalanya lagi ke bahuku. Kami diam saja seakan tak ada yang perlu dibicarakan setelah apa yang terjadi. Untuk saat ini aku membiarkan menjadi sandaran cowok itu, yang sedang larut dalam kesedihannya.

"Tangan kamu bisa nenangin aku, kayak tangan Mama," ucap Rifando yang sedang tersenyum dengan matanya yang terpejam.

Aku menggeser posisi agar menjadi berhadapan dengannya. Tanganku juga melingkar ke belakang punggungnya. Kali ini aku benar-benar ingin kurang ajar, padahal ini tak sepantasnya aku memeluk cowok yang sudah memiliki pacar. Hanya untuk saat ini, aku janji pada diriku sendiri.

Kami berdua saling menatap di manik mata satu sama lain. Mataku tak berkedip pada sepasang matanya yang kali ini sungguh redup, tak seperti biasanya yang berbinar. Rifando semakin memajukan kepalanya, degub jantungku makin berpacu cepat, sangat ketakutan jika dia akan melakukan hal yang di luar batas ini. Aku menghela napas lega saat Rifando hanya meletakkan dagunya di atas puncak kepalaku. Pandangan tepat di depan mataku berupa lehernya dan jakun seksi itu bergerak-gerak.

Suara pintu terbuka mengejutkan kami, terlebih lagi yang muncul adalah sosok perempuan cantik dengan rambut panjang, berkulit bersih bersinar, dan mata bulat. Senyuman di bibir perempuan itu segera terhapus berganti dengan mata melotot menyiaratkan kemarahan dan bibir membentuk garisan lurus. Raut wajahnya sangat pias, dan melongo.

"Kalian-sori kalo ganggu." Cewek itu dengan cepat menghela napasnya, segera diusap sudut matanya dengan bahu tangan. Dia kembali mundur menutup pintu.

Aku menganga karena Rifando masih memeluk erat tubuhku tanpa berniat mengejar pacarnya yang memergoki kami sedang berpelukan.

"Ndo, kejar Nilla!" seruku segera menjauh menjaga jarak agak memaksa dia supaya melepaskan pelukannya padaku.

Kepala Rifando menggeleng, tangannya kembali meraih pinggangku dan memeluknya lagi. Raut wajah cowok itu terlihatnya sedang berpikir. "Seharusnya aku memang bersama kamu di suasana kayak gini. Cuma sama kamu, Ndah."

Ucapan tegas itu membuat sekujur tubuhku dibanjur air hangat. Wajahku menjadi panas tak biasa, dan ada rasa menggelitik di perut. Aku salah tingkah mengalihkan pandangan ke arah lain. "Enggak, Ndo. Bukan sama aku, kamu punya pacar," sahutku dengan hati sakit. Aku menjauh padanya agar dia tak bisa meraih dan memelukku lagi.

"Aku nggak punya tempat lagi di mana aku bisa jadi lemah. Mama lagi sakit, aku nggak bisa ngelihatnya seperti ini. Aku nggak mau jadi lemah depan Elda, apalagi Bang Gara. Tapi aku juga hancur sendiri seperti begini."

Aku menjilati bibir yang kering berkali-kali, pandanganku terkunci pada kedua bola mata Rifando yang sedang menunjukkan sorot sayu itu. "Iya, masih ada aku." Suaraku terdengar sampai padanya, walau tidak tersenyum selebar biasanya Rifando sedang tersenyum sambil berusaha menahan tangis lagi.

TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang