18. Sepuluh persen

1.9K 238 47
                                    

Aku melihat dia berjalan ke meja kasir berbicara beberapa saat dengan penjaga. Tangannya menunjuk ke arah mejaku. Dia mengeluarkan uang beberapa lembar pada kasir. Aku memiliki firasat tak biasa saat Rifando pergi dari kasir lalu berjalan ke mejaku. "Hai, kejebak hujan ya?" Dia bertanya seraya duduk di depanku tanpa melepas masker.

"Iya, kamu sendiri ngapain di sini?"

"Mampir, belum mau pulang, 'kan? Tunggu aku dulu sebentar ya? Nanti pulang sama aku nggak apa-apa, tenang aja," kata Rifando sambil menggigil habis kena hujan tadi ditambah AC kafe kayak di Kutub Utara.

Aku mengangguk pelan, aku juga tidak bisa menghindar kabur karena hujan masih deras sekali di luar. Gapapa gapapa apanya!

Aku mengeluarkan tissue dari dalam tas mendapati tangan cowok itu masih sibuk mengusap-usap hoodie bagian bahu dan lengan yang basah. "Mungkin kamu butuh." Tatapan kami berdua tertuju ke kotak tisu milik kafe ini. "Ya kalo pake tisu kafe nanti buang-buang aja, padahal stoknya buat tamu pengunjung. Jadi, aku tawarin punyaku."

"Thanks," ucap Rifando mengambil tisu beberapa lembar lalu mengusap wajah, rambut, dan telinganya yang basah. Cowok ber-hoodie navy itu celingukan menunggu pesanan datang.

"Sabar, pesananmu lagi dimasak," komentarku melihat dirinya yang gelisah.

"Iya tahu kok, masak mie instan butuh sepuluh menit, ada caranya di bungkusnya tunggu air mendidih selama tiga menit." 

"Udah laper? Kamu pucat dan lesu, makan terakhir jam berapa? Telat makan?" tanyaku tanpa sadar nyerocos.

Rifando terlihat tak percaya menatap diam sebentar padaku. "Iya. Lupa."

Aku memandangi sekitar di konter coffee yang biasanya dijaga Bang Jay sedang kosong, Jonny juga tak terlihat di mana pun. Tak ada orang lagi yang bisa menyelamatkan dalam posisi ini.

Ketika makanan yang datang dibawa oleh pelayan adalah semangkuk mie rebus, segelas teh panas, dan pisang lumer cokelat keju. Usai dihidangkan Rifando menyodorkan piring kecil pisang itu ke depanku, kemudian dia mengaduk mie rebusnya.

"Gokil, ke sini cuma buat pesen mie rebus? Bedanya bisa lumayan loh sama di warkop."

"Males, warkop deket kampus rame banget, aku tadi juga diajakin ke sana sama anak-anak." Dia melepas masker wajahnya dan disimpan di saku celananya.

"Oh, habis dari kampus?"

Cowok itu mengangguk sambil fokus menunduk melihat pada mangkuknya. "Mau ada acara di Ikom, nanti aku kabarin event-nya biar kamu dateng. Ngapain di sini sampe kejebak hujan? Tumben duduknya di sini?" tanya Rifando sambil makan mie tanpa melihat padaku.

"Di luar kan hujan nanti basah, aku nggak bakal gila duduk di Garden D pake jas hujan," jawabku yang biasanya kami suka nongkrong di Garden D. "Enak di sini kayak orang gaje ngeliatin jalanan."

"Emang tadi sempet duduk di luar? Dimakan itu ya pisangnya nanti keburu dingin dan keras," katanya mengingatkan sambil menatap pisang lumer dengan cairan kecoklatan bertabur chococips warna-warni.

"Ya, aku makan ya," jawabku sembari memotong pisang dengan taburan cokelat dan keju itu lalu melahapnya ke mulut. "Nggak sih, udah di dalem dari tadi ngerjain tugas sama baca-baca sampe asyik gini, baru sadar udah jam 7 malem. Baru beres mau pulang hujan langsung turun."

"Oh," Rifando mematung sejenak seperti sedang tersadar sesuatu. "Apa ini takdir?"

Aku yang sedang mengunyah pisang itu langsung menjadi panik. Aku berdoa agar tidak tersedak pisang tersebut. Apa-apaan dia bicara tentang takdir segala? Kalau aku batuk-batuk harus mengambil air minum dari dalam tas, repot.

TerangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang