Alister menghalangi tubuh Kyra yang makin mendekat. "Gue nggak kenapa-napa. Lo bisa jaga jarak dikit?"

Mata Kyra terbelalak. Dia segera memutuskan jarak. Karena terlalu tergesa-gesa, dia tidak bisa menjaga keseimbangannya. Tubuh mungil itu pun harus rela untuk jatuh terduduk di rerumputan. Syukur-syukur di atas permukaan Rumput Swiss itu tidak ada pecahan kaca atau benda tajam lain yang dapat melukai bokongnya.

Namun, Kyra juga mesti merelakan ekspetasinya tentang Alister yang bisa saja menolong, jika dia punya keinginan seperti itu. Bagaimanapun juga, Alister tetaplah Alister. Dia hanya memandangi Kyra yang terjatuh dengan sebelah alis terangkat, mungkin karena heran dengan kadar kecerobohannya.

"Aku nggak apa-apa, kok," kata Kyra tiba-tiba. Dia berdiri, lalu menepuk-nepuk tubuh bagian belakangnya untuk menghilangkan sisa-sisa tanah yang menempel.

"Gue nggak nanya," balas Alister dengan cuek.

Kyra terpaksa memasang tersenyum kikuk. Padahal dia ingin menyumpal mulut laknat itu. Jika tidak bisa berkata manis, lebih baik diam! Kyra juga harus menahan gejolak amarah ketika dia kembali duduk di samping kakaknya itu, Alister malah beranjak pergi.

"Gue cabut dulu. Sori, gue nggak mau kena kutukan ceroboh," kata Alister sambil lalu. Dia mengakhiri percakapan mereka dengan senyum menyeringai yang Kyra yakini bahwa laki-laki itu-dalam hatinya-sedang menertawakan kelakuan ajaibnya, kecerobohan maksudnya.

"Aggghhh ... kenapa, sih, hari ini! Nggak kakaknya, nggak adiknya. Mereka kayaknya kompak banget nge-bully aku. Kelihatan seneng gitu, ngeliat aku tersiksa karena malu."

•oOo•

"Kyra, Papa masuk, ya?"

Suara Zahair dibalik pintu kamar Kyra menjadikan Kyra beranjak dari tempat belajar. Walaupun sekolah sedang libur-meski tersisa seminggu lagi untuk pergi ke asrama-keluarga Bachtiar memiliki kebiasaan untuk belajar sebelum tidur. Meski Zahair tidak menerapkan prinsip kebiasaan tersebut, tetapi melihat tabiat yang dilakukan oleh Akalanka maupun Alister-yang tentu saja diamati secara diam-diam-menular padanya.

Padahal Kyra awalnya memiliki rasa malas yang tinggi dan alergi belajar. Namun, entah kenapa dengan sikap buruknya itu, dia memiliki kualifikasi untuk lulus secara murni, tanpa campur tangan kekuasaan materi keluarga Bachtiar untuk diterima di SMA Unggulan Adiwangsa.

"Iya, Pa? Masuk aja." Kyra mempersilakan Zahair agar masuk. Huft, beruntungnya sebelum Kyra mandi sore, dia sempat membereskan kamar. Jika Zahair melihat kamarnya yang berantakan, Kyra tidak yakin masih memiliki muka untuk bertemu dengan Zahair.

"Kamu seneng belajar juga?"

Nggak, Pa! Itu nggak tahu kenapa aku kesurupan setan rajin kayaknya. "Ya ... gitulah, Pa." Kyra menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Rupanya angin malam dari arah balkon yang kaca jendelanya dibiarkan terbuka, berembus lumayan kencang. "Sebentar, Pa, aku tutup dulu jendelanya."

Belum sempat untuk menutup jendela, tahu-tahu Zahair sudah berdiri di samping Kyra dengan mata terkatup, seperti menikmati belaian angin malam. "Kamu merasa keberatan jika kita ngobrol di balkon?"

Kyra lalu menggeleng. Baginya, rasa dingin yang menusuk bukan hal yang perlu dia khawatir. "Tapi, tunggu sebentar, Pa."

Tak berselang lama, Kyra kembali dengan menenteng mantel hangat milik Zahair yang waktu itu tertinggal di kamarnya karena Kyra yang sedang sakit. "Papa lebih baik pakai ini dulu kalau mau ngobrol di balkon. Lagian jangan lama-lama, ya. Kesehatan Papa lebih penting sekarang."

Zahair menerima mantel pemberian putrinya dengan suka hati. "Kamu memang putri Papa yang paling pengertian." Dia mencubit pipi Kyra karena gemas. "Tidak seperti kedua kakakmu itu. Semuanya menyebalkan."

Sisi menggemaskan dari Zahair Bachtiar tidak diketahui oleh banyak orang. Waktu pertama melihatnya pun, Kyra berpandangan kalau Zahair merupakan orang yang sulit ditaklukkan, tidak ramah. Mirip-mirip dengan Alister. Namun, setelah lama berinteraksi, Kyra baru paham kalau Zahair juga punya wajah yang hanya dia tunjukkan di depan orang-orang terkasihnya.

Sebenarnya, kata "menyebalkan" yang Zahair ungkapkan untuk menggambarkan kedua figur anak-anaknya merupakan makna tersirat bahwa pria dewasa ini bangga memiliki anak seperti Akalanka dan Alister. Hanya saja, mungkin beberapa sikap dari kedua orang itu menjadi nilai minus di mata Zahair dan sering dijadikan sebagai guyonan. Yah ... menurut Kyra sendiri, setidaknya poin minus kedua orang itu menjadikan mereka tampak lebih manusiawi, meskipun orang-orang menilai kalau Zahair beserta keturunannya adalah definisi dari laki-laki sempurna.

Hiliih. Seandainya mereka tahu kebiasaan konyol Akalanka saat tidur. Atau tabiat Alister yang bikin geleng-geleng kepala ketika dirinya terserang suatu penyakit. Mereka pasti akan langsung ilfil dengan wajah tampan yang hanya menjadi cover itu.

"Kamu belum ngantuk, 'kan?"

"Belum. Papa tenang aja."

Terdengar suara helaan napas dari Zahair. Tampaknya papanya ini sedang dilanda suatu masalah, mungkin. Entahlah. Kyra belum bisa memahami dunia orang dewasa.

"Papa butuh sesuatu? Biar nanti aku ambilkan."

"Papa butuh kamu di sini aja, sudah cukup bagi Papa."

Kyra tertawa pelan. Kini dia mengerti bagaimana caranya Akalanka memiliki sisi romantis yang manis. "Papa masih punya waktu luang?"

"Kenapa memangnya? Kamu mau cerita-cerita lagi, ya?" Kedua sudut bibir Zahair melengkung sempurna. Dia terlihat bahagia dan tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan dengan kebiasaan Kyra yang dapat menceritakan apapun kepadanya.

"Iya, Pa. Kali ini, aku cerita tentang kelinci putih yang lolos dari kejaran ular berbisa dan berteman baik dengan kawanan singa yang dianggap hewan paling garang."

1825 [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang