29

4.4K 541 102
                                    

Chika memandang Ara. Ingin berkata banyak. Banyak sekali. Mata chika terpejam ada begitu banyak yang ingin ia utarakan. Bahwa ia ingin dipertemukan dengan segudang harapan. Bahwa kenyataan paling mematikan tentang Ara membuatnya terlempar ke jurang batu. Bahwa ia mendadak marah. Bahwa ia sendiri yang membuat dirinya tertindas dengan harapannya sendiri. Padahal ketika detik bayangannya muncul hatinya sudah berteriak. Kebahagiannya pulang.
Mungkin kamu tahu, masalahnya tidak mudah, chika hanya ingin bahagia dengan sesuatu yang selalu ia lambungan pada tuhan. Menyelamatakan perasaannya dari kemungkinan patah hati yang kerap sekali terulang.
Chika makin terpejam. Sesuatu menggejolak panas di dada. Ia tersenggal

"Kak chika, kenapa?" Ara terlihat khawatir, chika tak berbicara apapun ketik Laki-laki itu pamit beberapa menit yang lalu, dan yang chika perhatikan terkahir kali adalah raut wajah ara yang tersenyum-senyum sebelum lamunannya membumbung tinggi. Chika sama sekali enggan bertanya perihal hubungan apa yang sedang ara jalani dengan laki-laki itu. Ara belum mengatakan apapun

"Kita mau sampai kapan di sini. Jadi ketempat kamu?" Ara bingung, chika menatap layar ponselnya

"Kalau kamu mau" Katanya singkat. Tidak ada raut kebahagiaan yang ara lihat. Chika nampak terlihat murung.

"Aku mau ketempat kamu..."

Chika membuka pintu mobil, di susul ara di sampingnya. Mereka duduk dalam diam. Ara sibuk memperhatikan bucket bunganya dengan senyum yang tidak luntur. Bahkan ketika mobil yang di tumpanginnya melesat membelah jalana aspal yang basah. Chika membiarkan dirinya larut dalam hening yang sempurna. Semestanya hanya mengandung bunyi deru mobil yang sangat halus, gerak kemudi, dan napas ara. Chika menyandarkan kepalanya di kaca mobil, memperhatikan jalanan, matanya tertutup sedikit, membiarkan ara merasa heran sendirian. Ia jadi merasa tidak enak.

Chika tidak berbelok, ia menuntun langkah ara melewati koridor yang tidak terlalu besar, kakinya berhenti tepat di salah satu pintu, chika menekan sesuatu. Dan pintu terbuka. Gelap.
"Taruh sepatunya di sana aja Ra,"  Ara merasakan suara chika tidak seperti biasanya. Ara menurut. Ia meletakan spatunya di rak dekat dengan pintu. Chika menyalakan lampu utama, berjalan beberapa langkah dan menyalakan lampu di meja sisi ranjang. Ia lalu duduk di sopa yang tidak terlalu jauh dari sana.
Ara merasa nyaman. Tapi sudut hatinya memproduksi proses serius. Apartemen chika. Tidak terlalu besar, tapi sangat minimalis dan rapih. Desainnya sederhana tapi terlihat mewah. Ara terpaku, menyusuri semua sudut ruangan dengan mata melebar.

 Ara terpaku, menyusuri semua sudut ruangan dengan mata melebar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Tempat tidur yang nyaman. Ara mendudukan dirinya di sana, meletakan bucket bunganya dengan hati hati. Chika sudah sibuk mengganti pakaiannya.

"Ini kamu sendiri yang dekor kamarnya?"
Chika mengangguk, meletakkan baju kotor ke keranjang cucian.

"Dari dulu aku kepengin punya apartemen yang nggak besar, biar ngurusnya nggak ribet. Lagian kalau kecil gampang beresinnya. Sini..."
Chika melambai mengulurkan tangannya, ara meraih tangan itu, ia mengikuti langkah chika menuju dapur.

Waktu (ChikAra)Where stories live. Discover now