0.2

14.1K 1.7K 15
                                    

"Im Sena, silahkan—Sena mana?"

Guru olahraga, Pak Hoseok menatap sekitarnya, mencari-cari keberadaan murid kesayangannya, Sena. Gadis itu biasanya datang paling awal, namun saat ini ia tidak bisa menemukan kehadiran gadis itu.

Jeno dan tiga teman yang lainnya mengedikan bahu acuh. Mereka sudah tau jawabannya, Sena tidak mungkin melakukan penilaian hari ini akibat tangannya yang melepuh pastinya.

"Sena mana? Tadi saya liat dia di kelas. Gak ada yang panggil dia?" Tanya Pak Hoseok heran. Pak Hoseok menatap murid-muridnya yang tampak tidak tahu-menahu tentang keberadaan Sena. Hoseok menghela nafas." Baik, Sena saya anggap alpa. Berikutnya adalah Lee Jeno—"

"Hadir Pak!"

Itu bukan suara Jeno, melainkan seorang gadis tinggi yang berlari dengan nafas terengah-engah menuju kerumunan kelas mereka.

"Darimana kamu baru muncul. Yaudah, jadi Sena dulu baru Jeno," ucap Pak Hoseok tenang sembari mencoret-coret absen.

Sena mencoba mengatur nafasnya, membungkukkan sedikit badannya, kedua tangannya bertumpu pada kedua lututnya. Matanya secara tak sengaja melirik ke arah Jeno.

Pemuda itu menatapnya tajam, ia benar-benar membenci kehadiran Sena.

"Ayo, buruan. Waktunya udah mau habis," titah Pak Hoseok dan langsung diangguki oleh Sena.

Gadis berkulit putih yang ditutupi oleh baju olahraga berlengan panjang dan celana panjang itu langsung mengambil bola yang dilempar Pak Hoseok. Berjalan kecil menuju tengah lapangan dan kemudian memantulkan bola ke udara selama beberapa kali.

Pak Hoseok yang melihat itu menganggukan kepalanya, teknik Sena sangat sempurna menurutnya. Itulah mengapa Sena menjadi murid kesayangannya, ralat, bukan hanya murid kesayangannya, tapi juga murid kesayangan semua guru. Sena selalu melakukan yang terbaik dan nyaris sempurna, terkadang sempurna juga.

Sedangkan Jeno dan yang lainnya menatap Sena yang sedang dalam penilaian itu dengan tatapan datar dan sinis. Bagaimana bisa memukul bola ke atas dengan kondisi tangan seperti itu?

"Stop stop!" Pak Hoseok menghentikan penilaian Sena dan gadis itu juga terkejut mendengar suara lantang Pak Hoseok yang membuatnya seketika berhenti.

Kini seluruh murid menatapnya. Jeno sudah tersenyum sinis melihat Sena yang dihentikan secara sengaja.

"Ada Apa, Pak?" Tanya Sena tak mengerti, Pak Hoseok memberhentikannya secara tiba-tiba.

Pak Hoseok terdiam sejenak, memicingkan matanya, memfokuskan pandangannya ke arah pergelangan tangan Sena yang terbalut dengan lengan panjang berwarna biru. Hal itu juga membuat seluruh siswa menatap ke arah pergelangan tangan Sena.

"Itu tangan kamu kenapa berdarah?" Pak Hoseok menunjuk pergelangan tangan Sena. Baju berwarna biru itu memunculkan noda merah yang membuatnya terlihat jelas bahwa tangannya dalam kondisi tidak baik-baik saja.

Sena yang sedaritadi berusaha menahan rasa sakitnya langsung menoleh ke arah pergelangan tangannya. Benar, tangannya berdarah.

"Tangan kamu kenapa itu? Kalo lagi sakit harus bilang, mending kamu obatin dulu itu di UKS—"

"Eh gapapa kok, Pak. Saya bisa ke UKS habis penilaian—"

"Saya gak mau lanjutin penilaian kamu dengan kondisi tangan kamu yang seperti itu. Sana, obatin dulu!" Perintah Pak Hoseok yang fokus mengundang tatapan aneh dari siswa lainnya.

Sena menganggukan kepalanya pelan, meletakkan dengan tenang bola Volly itu di lapangan. Gadis itu membungkuk hormat kepada guru olahraganya lalu berbalik untuk pergi ke UKS.

Saat tubuhnya berbalik, ekspresi wajahnya berubah sempurna, dari yang terlihat tenang dan baik-baik saja kini berubah begitu menyedihkan, siapapun yang melihat itu tau bahwa gadis itu kesakitan.

"Baik, selanjutnya Jeno."

•••

Jam pulang sekolah telah berbunyi lima belas menit yang lalu, namun Sena harus berdiam diri di kelas seorang diri untuk melakukan piket. Harusnya hari ini ia piket dengan Jeno dan Beomgyu, tapi tidak mungkin dua laki-laki itu akan melakukannya. Sifatnya sangat mudah ditebak. Lagipula ia sudah terbiasa melakukan piket sendiri selama beberapa bulan belakangan ini.

Sena melirik ke arah jendela, ia tidak tau waktu akan berjalan secepat ini. Matahari mulai terbenam membuatnya meletakan sapu di sudut ruangan.

Sena terdiam sejenak, menarik lengannya sedikit ke atas. Matanya langsung disapa dengan tangan kanannya yang terbalut perban. Rasanya masih sangat perih walaupun sudah berlalu beberapa jam.

Cukup lama ia memandangi tangannya yang terbalut perban itu dan kemudian Sena mengambil tas hitam yang dibelikan oleh Wendy, perempuan yang merawatnya selama ia berada di panti asuhan. Wendy selalu mengiriminya uang tiap bulan dan mendaftarkannya di sekolah Elite yang ada di kota Seoul. Sena menolak dengan mengatakan bahwa ia bisa bekerja mencari uang, namun Wendy tetap bersikukuh mengirimkannya uang. Sena takut ia akan menjadi beban dari istri CEO ternama itu, tapi wanita itu cukup dermawan, wanita itu tidak pernah mempermasalahkan nominal uang karena Suaminya menghasilkan milyaran uang tiap bulannya. Wendy juga tidak bisa memiliki anak, jadi ia mendirikan panti asuhan dan wanita itu benar-benar merawat mereka semua dengan sangat baik.

"Eh?"

Sena mencoba mendorong pintu kelas, namun pintu tidak terbuka sama sekali. Sena kembali mencoba membuka pintu itu dengan kasar, namun kali ini tetap sama, pintu tak kunjung terbuka. Perasaannya mulai gelisah. Gadis itu panik. Ia harus bekerja habis ini.

"JENO!" Teriak Sena kencang, namun tak ada sahutan ataupun suara terdengar dari luar sana.

Sena kembali memukul-mukul pintu, berharap pintu yang terkunci itu terbuka. Sena berteriak meminta pertolongan, namun diluar benar-benar tidak ada orang. Semuanya pasti sudah pulang atau berada di pintu gerbang, menunggu penjemput mereka masing-masing.

Tiba-tiba ada sebuah notif masuk, membuat tangisannya yang akan pecah itu tertahan.

Jungwoo: hari ini gak kerja lagi?
Jungwoo: lo dimana?
Jungwoo: banyak yang nyariin lo

Sena menatap pesan yang dikirim oleh Jungwoo, teman di tempat ia bekerja. Entah tatapan apa itu, Sena tak berniat membalas pesan Jungwoo. Jungwoo orang yang baik, tapi Sena tak membiarkan Jungwoo masuk kedalam kehidupannya.

Sena kembali menatap luar jendela, sunset terlihat jelas di depan mata membuat tubuhnya merosot begitu saja sembari menyandar pada pintu. Jaemin dan Jeno sudah pasti ulah dari semua ini.

Haruskah ia meminta pertolongan seseorang? Sena sangat jarang meminta pertolongan seseorang. Ia sangat berat hati meminta pertolongan dari orang lain. Tapi keadaan ini benar-benar mendesak.

Jika tidak terpaksa, ia sangat membenci kata tolong yang keluar dari mulut maupun hati kecilnya.

"Jungwoo..."

"Halo? Lo dimana—"

"Gue mau minta tolong..."




































Ini beda dari cerita bully you sekian dan terimakasih

Dangerous Bully | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang