26. Rafa Blushing

9.5K 1.8K 54
                                    

26. Rafa Blushing

Guys, bertemu seseorang yang rupawan itu, mampu membuat mata termanjakan. Aku tidak munafik kok, kalau aku suka melihat fisik yang menawan. Apalagi yang se-hot Riza Ramadhan. Yah, walaupun hanya lihat secara virtual saja. Tapi kali ini aku bisa melihat secara langsung, di depan mata! Oh tidak, bukan Riza, tapi sekumpulan pria tampan menawan yang penuh kepedulian. Bagaimana aku tidak melongo?

"Lihat deh, Bang Rafa mulutnya sampai maju-maju karena Kak Berlin mupeng lihatin abang-abang!"

Celetukan Nara membuatku mengalihkan pandangan dari arah depan, ke samping. Benar saja, Rafa yang sedang membagikan otak-otak ke anak-anak, menatapku dengan kesal dan bibir manyun. Aku tertawa sementara Nara terkikik.

"Ya gimana?" Aku menoleh pada gadis dua puluh tahun namun muka masih kelihatan seperti anak SMP yang duduk di sebelahku ini. "Abang-abang kamu nggak ada yang nggak ganteng, Ra."

Nara ngakak, hingga orang-orang yang kami bicarakan, menoleh bingung. Lalu empat orang perempuan melangkah mendekat dan bergabung bersama kami.

"Pada ngobrolin apa nih?" tanya Rena, istri dari Kevin, salah satu abang Nara yang neneknya adalah pemilik panti asuhan ini.

"Iya, seru banget." Itu Icha, istri Gio. Masih ingat, bukan?

Nara tertawa kecil sementara aku mengulum senyum. "Ini lho, Kak Berlin tuh nggak kedip liatin abang-abang. Bang Rafa cemburu tuh!"

Rena dan Icha tertawa kecil. Sementara Lili, gadis yang duduk di sebelah Nara, hanya tersenyum kecil. Aku dan Kiara yang duduk di sebelahku, saling melempar senyum. Kiara ini istrinya Panji, salah satu abang Nara juga.

"Jangan salah, Kak Berlin, ganteng-ganteng gitu tapi overprotektif-nya kebangetan. Posesifnya minta ampun."

"Dan jangan lupa," Kiara menyambung ucapan Icha. "Mereka semua penganut PDA."

Aku mengerutkan kening. "Apa itu PDA?"

"Public display affection."

Aku membulatkan mulut. "Beneran?" Mereka mengangguk kompak. "Tunangannya Lili juga?"

Lili meringis, kemudian mengangguk. Aku tertawa kecil sambil mengamati para lelaki yang bekerja sama memasak untuk acara nanti malam. Ada Panji si wajah datar dan irit bicara, Kevin si friendly dan humoris, Bian si ramah dan hangat, Gio si polisi dengan wajah tegas namun ternyata ramah juga, juga Dave si wajah sangar yang ternyata sama humorisnya dengan Kevin. Oh ada lagi, yaitu Tomi, tunangan Lili sekaligus koki di kafe milik Panji dan Kevin. Mereka datang bersama pasangan mereka, kecuali Dave dan Bian yang istrinya sama-sama sedang hamil.

Dan yang membuatku terkejut, ternyata istri Dave itu adalah Agnes, teman kerja Ririn. Perempuan itu memang saat ini sedang menunggu hari persalinan, sehingga tidak diizinkan ikut. Oh ya, 'abang' di sini sebenarnya bukan abang kandung ya. Hanya saja, persahabatan antara kelima pria itu yang sudah seperti saudara kandung. Otomatis adik-adik salah satu dari mereka juga ikut dekat.

Dan alasan kenapa mereka semua datang ke panti beramai-ramai adalah untuk merayakan kelulusan Lusi, Ela, Sari dan Desi—empat remaja penghuni tertua panti ini. Rena bilang, dia dulu penghuni panti, Lili juga pernah tinggal sementara di sini, tapi sudah keluar sekitar dua tahun lalu.

Para pria itu menyuruh semua perempuan untuk duduk dan mengobrol, sedangkan mereka yang ambil bagian untuk memasak. Walaupun begitu, aku yakin masakan mereka akan enak sih. Karena kata Nara, Bian dan Tomi itu koki yang jago.

"Eh itu Bang Rafa kenapa?"

Celetukan Rena membuatku menoleh, mengernyit ketika melihat Rafa mengaduh sambil berteriak-teriak. Sedangkan para lelaki yang lain malah menertawakan. Tak lama kemudian Rafa berlari meninggalkan halaman belakang dan masuk ke bagian dalam panti asuhan.

"Aku susul dia dulu ya," kataku, dan setelah mendapat anggukan mereka, aku langsung menyusul Rafa.

Tapi di pintu, aku bertabrakan dengan gadis mungil berambut keriting panjang yang sedang membawa baki minuman.

"Eh, maaf, Lusi," kataku sambil membenarkan baki di tangannya yang hampir jatuh.

Lusi tersenyum tipis. "Nggak apa-apa kok, Tante."

Aku balas senyumnya. "Oh ya, Lusi lihat Rafa nggak?"

Lusi mengangguk. "Om Rafa ke dapur, Tante."

"Okay. Makasih ya, Lusi."

"Sama-sama, Tante."

Aku segera melangkah ke dapur. Dan benar saja, Rafa ada di sana. Sedang berdiri di depan wastafel yang airnya mengalir. Bisa kudengar decakan serta makian lirih keluar dari mulutnya. Menggelengkan kepala, aku mendekat dan menepuk bahunya.

"Setan!" Dia berteriak sambil menoleh. Lala matanya membelalak.

"Siapa yang setan?" Aku memelotot sambil berkacak pinggang.

Rafa menyengir. "Keceplosan. Nggak ngatain kamu kok, suer." Dia mengacungkan jari tangan kanan bagian telunjuk dan tengah. "Lagian ngapain kamu ke sini? Ngagetin aja."

"Ngikutin kamu. Ngapain coba tiba-tiba mengumpat, teriak, terus lari gitu. Pakai diteriakin abang-abang kamu, lagi."

Dan setelah aku bicara begitu, Rafa langsung mencebikkan bibir. Lalu dia mengangkat tangan kiri tepat di depan wajahku. "Lihat nih!"

Mataku membola melihat jari telunjukanya mengucurkan darah. Ada luka iris yang cukup dalam di situ.

"Ini kenapa?"

"Kena pisau." Dia cemberut. "Barusan lagi bersihin, tapi kamu datang. Sekarang kamu yang harus bersihin."

Menahan tawa, aku mengambil tangan Rafa dan mengarahkannya ke bawah keran yang masih mengalir. Rafa mendesis, baru akan mengumpat tapi langsung aku tabok lengannya.

"Jangan kebiasaan ngumpat!"

"Sorry, Nyonya Pradipta."

"Lagian kenapa bisa keiris, sih?"

"Gara-gara kamu." Rafa meletakkan dagunya di bahuku.

"Kok aku?" Aku menatapnya tak terima.

"Kamu mupeng lihatin cowok lain. Sengaja banget mau bikin aku cemburu?!"

Aku tertawa kecil sambil mematikan keran. Setelah itu menepis lengan kanannya yang bertengger di pinggangku. "Sana ke belakang dulu. Sama pinjem kunci mobil. Aku ambil P3K di mobil kamu."

Sebenarnya bisa saja aku meminta ke Ibu Panti, tapi kupikir lebih baik memakai punya sendiri. Bukan apa-apa, hanya saja aku tidak ingin memakai perlengkapan yang seharusnya milik anak-anak. Intinya bukan karena risih atau apa, tapi P3K milik panti bisa digunakan untuk anak-anak saja, 'kan, nanti?

Rafa mengeluarkan kunci dari saku jaket dan meletakkannya di atas telapak tanganku. "Kok tahu di mobil ada?"

"Kan waktu itu Mas Bayu taruh di sana, habis obatin luka cakaran fans fanatik kamu yang nyasar ke muka ganteng dia."

"Muji cowok lain di depan calon suami sendiri?" Rafa berdecak. "Bagus!"

"Lah emang ganteng."

"Gantengan aku." Rafa mengugar rambut, dan aku mendecih geli. "Dan jangan panggil dia 'Mas'. Aku aja nggak dipanggil gitu sama kamu!"

"Kan tuaan aku." Aku mengerling. "Apa aku panggil 'Dek' aja? Dek Rafa? Adek Rafa yang ganteng dan manja?" Aku memegang dan meniupi jarinya yang luka. "Atit ya? Kacian."

Rafa melepas tangannya secara paksa, menatapku dengan mata memicing dan muka memerah. Kemudian tiba-tiba membalikkan badan dan keluar dari dapur. Tapi sebelum itu, dia berseru kesal, "Cepetan ambilin obatnya, keburu aku mati kehabisan darah!"

Aku tertawa keras. Barusan dia blushing kan? Hanya karena aku memanggilnya 'Adek'? Dasar mantan playboy cap bebek!

***

Masih sweet dan gaje nih, gaes. Konfliknya ditabung entaran aja wkwk

Magelang, 08 Juli 2021

Cerita ini end di bab 3ò ya guys. Promo PDF 55k->35k berakhir tanggal 5 Januari 2024. Jangan sampai ketinggalan ♡

Direpost 03 Januari 2024

Hello, Gajah! (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang