5. Surat

10.7K 2.1K 91
                                    

"Hebat kamu, Lin, presentasinya."

Aku tersenyum lebar menanggapi pujian Pak Galang. "Saya gitu lho, Pak."

Pak Galang berdecak. "Sombong."

Aku dan Pak Ujang—supir Pak Galang— tertawa. Saat ini kami baru kembali dari Gajah Mada Grup, perusahaan yang sudah bertahun-tahun menjalin kerja sama dengan Pradipta Grup. Kebetulan hari ini Pak Galang sedang kurang fit, jadi aku ditugaskan mewakili beliau presentasi di depan para petinggi Gajah Mada. Untung sebelum dipindahkan di kantor pusat ini, aku sudah terbiasa mewakili presentasi jadi tidak terlalu gugup.

"Kamu jadi sekretaris dari kapan, Lin?"

"Dari saya lulus kuliah, Pak. Saya dulu diterima di kantor cabang Pradipta, baru sekretaris magang sih. Bantu-bantu Mas Dika, sekretaris utamanya Pak Dimas. Berapa bulan itu baru saya diangkat jadi pegawai tetap."

"Dimas direktur perencanaan?"

"Iya, Pak."

"Terus?"

"Terus dua tahun habis itu, Bu Sesil—manager keuangan—butuh sekretaris—buat gantiin Mbak Tere, sekretaris sebelumnya yang resign karena mau ikut suaminya dinas di Papua. Ya sudah, saya kerja sama Bu Sesil sampai akhirnya dipindah ke pusat."

"Jadi karir kamu di Pradipta terus?"

"Iya, Pak." Aku menyengir ke arah Pak Galang yang duduk di belakang, sementara aku dan Pak Ujang di depan.

"Tidak tertarik ke tempat lain?"

Alisku berkerut ketika menoleh pada beliau. "Bapak mau pecat saya? Katanya tadi saya hebat presentasinya? Masa mau dipecat?"

Pak Galang langsung tertawa, yang disusul Pak Ujang. "Siapa yang mau pecat kamu? Geer!"

Aku mencebikkan bibir. "Bapak rugi kalau pecat saya. Langka banget kan, Pak, sekretaris gendut kayak saya?"

"Iya, langka. Sampai bikin Rafa nggak bisa–"

"Nggak bisa berhenti bully saya?"

Pak Galang kembali tertawa. "Iya."

Aku kembali menghadap ke depan dengan bibir cemberut. Rasanya menyenangkan, memiliki atasan yang begitu santai hingga seperti teman. Pak Galang memang beda. Jika dulu Pak Dimas dikagumi seantero kantor karena wibawa juga sifatnya yang kalem cenderung dingin, Pak Galang diidolakan karena sifat humble beliau. Bahkan sebagai petinggi, beliau tidak sungkan makan bersama para bawahan di kantin kantor.

"Saya maunya Rafa itu juga mulai mengurusi Pradipta."

Aku menoleh lagi, karena Pak Galang sepertinya akan curhat. "Kan udah jadi artis, Pak."

"Dia terlalu lama nyemplung di dunia itu." Pak Galang menghela napas. "Saya kan bertambah tua. Maunya mulai istirahat saja. Tapi Rafa, satu-satunya penerus saya masih nyaman sama hibur orang."

Aku meringis. "Nggak ada kandidat lain, Pak?"

"Nggak ada. Kamu ingat Kendra tadi?"

"Iya, Pak. Direktur utama Gajah Mada, bukan?"

"Iya. Dia adik saya."

Mataku membulat. "Adik Bapak? Adik kandung?"

"Iya, satu-satunya adik saya. Sekaligus owner Gajah Mada. Dua tahun lalu dia mengakuisisi Gajah Mada, yang otomatis nggak mungkin punya waktu untuk mengurusi Pradipta. Anak-anak Ken juga masih kecil. Satu-satunya harapan saya ya Rafa."

Aku meringis. "Memang Rafa nggak mau sambil belajar di Pradipta, Pak?"

"Sebenarnya basic pendidikan Rafa memang bisnis. Nggak tahu juga malah banting setir jadi tukang ngamen."

Aku terkekeh mendengar sebutan untuk pekerjaan Rafa. "Ngamennya dapat duit banyak, Pak. Punya banyak fans juga. Ibu saya aja nge-fans sama Rafa."

"Anak-anak saya juga, Pak." Pak Ujang ikut menimbrung, membuat kami tertawa bersama

"Saya nggak larang Rafa di dunia hiburan, cuma ya sebagai orang tua, saya punya harapan dia mempertahankan bisnis yang didirikan kakeknya. Tapi anak itu kalau dibujuk ada saja alasannya. Terakhir saya bujuk, malah minta tenggat waktu."

"Tenggat waktu sampai kapan, Pak?"

"Sampai nikah. Dia mau mulai ngurusin Pradipta kalau sudah nikah."

"Ya nikahin aja, Pak," jawabku sambil menahan tawa.

"Sama siapa? Kerjaannya dari dulu main-main nggak jelas. Kalau ibu kamu nge-fans, pasti kamu tahu kalau Rafa sering digosipkan dengan banyak artis atau model. Heran saya. Punya anak sebiji dari dulu bikin pusing orang tua terus."

"Carikan jodoh saja, Pak, biar insaf jadi playboy."

"Siapa? Kamu mau?"

Aku memelotot, menoleh horor. "Big noo!"

"Kenapa? Bukannya kamu dulu naksir Rafa?" tanya Pak Galang jail.

"Enggak, Pak. Bapak nih udah saya bilangin berkali-kali nggak percaya. Saya nggak pernah naksir Rafam—el. Dia aja yang tukang bohong."

"Tapi saya lihat lho surat yang kamu kasih buat Rafa dulu."

"Hah? Surat?!"

"Iya, surat cinta zaman kalian SMA."

"Wah." Aku tertawa geli. "Bapak nih bercanda aja."

"Kata siapa saya bercanda? Baru minggu lalu Nina nemu di laci meja kamar Rafa. Suratnya pakai kertas binder warna biru kan? Gambar Barbie? Di atasnya ada tulisan dear Rafael Pradipta from Berlin Ayudia. Nama kalian kan itu? Kelihatannya memang sudah lama, sudah menguning juga."

Aku speechless untuk beberapa saat. Padahal seingatku, aku sudah membuangnya di tempat sampah dulu. Bagaimana bisa sekarang surat itu disimpan Rafa? Selama dua belas tahun? Gila.

"Oh ya, tidak tahu beberapa hari ini Rafa kelihatan sumpek. Sensi melulu bawaannya, macam hamil muda. Kamu tahu kenapa?"

Aku menggeleng. Rafa memang sudah beberapa hari ini tidak muncul tiba-tiba di kantor, tidak menggangguku juga. Sedikit aneh. Tapi aku tidak terlalu mempermasalahkan. Toh, bagus bukan? Hidupku tenang lagi.

***

Hello, Gajah! (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang