28. Gloomy

9K 1.6K 66
                                    

28. Gloomy

Rudi. Dia adalah kakak tingkatku semasa kuliah. Lelaki berkulit sawo matang yang terlihat sederhana. Mempunyai dua orang teman yang selalu bersamanya ke mana pun.

Entah bagaimana caranya aku mengagumi dia secara diam-diam. Mungkin karena hanya dia yang memanggilku 'Berlin' ketika mayoritas mahasiswa entah setingkat maupun tidak, memanggilku 'Gajah'. Atau mungkin karena dia satu-satunya yang tak pernah membully fisikku. Bahkan dia sering menolongku dan bilang bahwa badan berisi itu indah. Dan aku terpesona karena sikapnya yang tidak mendiskriminasi.

Aku hanya membutuhkan waktu enam bulan untuk menyukai diam-diam, karena tiba-tiba Rudi menunjukkan sinyal-sinyal yang sama. Dia terlihat menyukaiku balik. Mendekati secara intens, bersikap lembut dan baik, juga menjadi pelindung. Dua temannya juga baik sekali, mau berteman denganku. Dan begitulah, aku dan Rudi menjalin hubungan dalam waktu singkat.

Bulan-bulan pertama, aku merasa bahagia karena Rudi memperlakukanku dengan sangat sopan. Dia tidak pernah malu, justru sangat bangga memamerkanku sebagai kekasihnya. Dia sering terang-terangan melarangku diet. Dia bilang, tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk kepadaku jika aku diet. Dia bilang sangat senang dengan fisikku apa adanya. Bahkan tak bisa dihitung dengan jari, bagaimana dia terlihat memujaku.

Di bulan keenam kami berpacaran, barulah keanehan itu terjadi. Tidak, bukan tentang Rudi yang tidak tulus dan melakukan hal klise seperti taruhan untuk mendapatkanku. Bukan itu. Tapi aku merasa aneh dengan cara ia memandangi tubuhku. Seperti ada sesuatu yang tidak biasa, yang saat itu aku rasa tidak benar. Dan aku makin takut saat dua temannya memandangku dengan cara yang tidak biasa.

Saat kecurigaanku menguat, semua itu terlambat karena aku menyadarinya di saat sedang diajak pergi olehnya. Dia bilang akan memperkenalkanku dengan ibunya yang tinggal di kampung, tapi nyatanya dia membawaku ke sebuah rumah kecil di pinggir hutan. Saat itu aku sadar sedang dalam bahaya, tapi tak ada gunanya. Aku terlambat. Rudi mengurungku di dalam rumah itu, dibantu dua temannya.

Dan semuanya terungkap. Mereka bertiga mengakuinya terang-terangan. Kebaikan mereka palsu. Mereka hanya menginginkan tubuhku ... untuk memuaskan pikiran binatang mereka. Mereka memuja badan berisiku, karena kata 'gajah' adalah fetish mereka. Lucu sekali bukan? Betapa berengseknya tiga manusia itu.

"Dek."

Aku mengernyit saat merasakan usapan di kepala. Meski berat dan pening, aku berusaha membuka mata. Dan yang kutemukan adalah sosok Ibu, berdiri di sisi ranjangku.

"Mas Rafa ke sini." Ibu mengusap dahiku yang berkeringat dingin. "Ibu suruh masuk, ya?"

"Hm?"

"Nanti pintunya dibuka lebar. Nggak apa-apa kan?"

"Iya."

Setelah Ibu berlalu, aku mendesah. Menatap langit-langit yang terlihat buram. Ah, aku tidak akan heran jika Rafa langsung tahu aku sakit. Pak Galang pasti langsung memberitahunya.

Ya, aku sakit. Tepatnya setelah melihat wajah manusia berengsek yang ternyata terlihat baik-baik saja itu, aku merasa benar-benar kacau. Bahkan untuk lanjut makan siang bersama saja aku tidak kuat. Perutku terasa mual. Sementara badanku menggigil dan panas. Karena itu aku meminta izin Pak Galang untuk pulang. Dan Pak Galang langsung menyuruh Pak Ujang untuk mengantarku.

"Hai, cewek cantik."

Aku menoleh, dan menemukan sosok Rafa tengah berjalan mendekat dengan ponsel di genggaman. Masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang dia pakai ketika menjemputku tadi pagi. Wajahnya terlihat lelah bercampur cemas.

"Udah baikan?" Rafa duduk di tepi ranjang, menunduk untuk mengecup keningku. Lalu dia memegang bibirnya sendiri. "Panas."

Aku berdecak geli. "Tukang sosor."

Hello, Gajah! (REPOST)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt