8. Percaya Aku

11K 2K 80
                                    

marah beneran nih?

bener2 yg bener marah?

elah jah gitu bgt kyk bocah

jgn childish dong

bls kek diread mulu

baru kali ini artis seganteng gue dicuekin sm netijen

jah

gajah!!!!!

aduh siapa nama lengkap lo? gue lupa

beneran lupa jah

udh deh ikhlas aj gue pnggil gajah y

udh terverifikasi nih dari dulu

jaaaaaah bls doooooong

mbak gajah sayang 😭😭😭

"Manusia bego!" gumamku kesal sambil memblokir nomor tanpa nama yang sejak pagi tiba-tiba mengirim rentetan pesan. Dari mana coba, dia tahu nomorku? Biasanya kan mengganggu lewat DM Instagram.

Definisi keturunan kampret ya memang Rafael Pradipta. Cuma dia makhluk yang bisa membuatku kesal setengah mati begini. Apalagi kalau teringat kejadian semalam, rasanya aku ingin langsung masuk ke grup haters Rafael Pradipta.

"Kalau iya, gimana?"

Tentu ketika dia membisikkan itu, aku merasa benar-benar kaget. Tubuhku membeku. Apalagi dalam jarak wajah yang kurang dari dua puluh sentimeter, Rafa menatapku lekat. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. Tatap matanya pun sedikit berbeda dari cara yang biasanya dia lemparkan.

"Lo ... apa?" tanyaku, terbata.

"Gue naksir lo." Rafa memajukan wajahnya. "Dari dulu." Napasku spontan tertahan saat dia makin maju. Tanganku yang harusnya terkepal menonjoknya, justru terkulai lemas. Rafa menatap bibirku lalu tersenyum miring. Dan yang tak terduga, matanya mengerling. "Tapi bohong!"

Mataku mengerjap beberapa kali. Menatap Rafa yang sudah menjauh dan terbahak-bahak. Seketika itu aku sadar telah dikerjai.

"Sinting lo!" Kulempar tas ke arahnya, yang dia tangkap dengan gesit. "Berengsek!"

"Mbak Gajah nggak boleh ngumpat." Dia menggeleng konyol. "Nggak sopan."

"Sini lo!" Aku maju, menyerangnya dengan pukulan dan tendangan yang membuatnya berlari menghindar.

"Apaan sih masa gitu aja mar—aduh aw sakit, Jah!" Dia memekik saat kuinjak kakinya dengan sepatu.

"Gue mutilasi lo!"

"Ampun-ampun, Jah, ampun!" Dia menahan tanganku yang ingin menjambak rambutnya. "Lagian baper amat. Gue mana suka sama cewek gajah macam lo? Kayak nggak ada cewek lain aja. Gue masih waras dan nggak buta ya. Masih suka yang bodinya langsing-langsing. Yang cantik dan nggak banyak lemak di—Jah!"

Rafa mendelik saat aku merebut tasku yang dia dekap, kemudian mendorongnya hingga terantuk dinding. "Lo emang nggak pernah berubah, Raf. Mati aja sana bareng sifat berengsek lo itu!"

Aku pergi setelah itu, tanpa menghiraukan panggilannya. Lift tertutup tanpa sempat dia masuk. Aku masih bisa mendengarnya berteriak-teriak sebelum lift bergerak turun. Untungnya di depan gedung, ada ojek konvensional yang baru saja mengantar seorang laki-laki. Entah apa yang orang itu lakukan dengan datang ke kantor ini saat sudah sepi, tapi aku bersyukur bisa langsung pergi menggunakan ojek itu.

Oke, aku bukan marah karena dia bohong. Ya bodoh amat dia mau benar-benar suka aku atau tidak, toh aku tidak pernah berharap disukai oleh makhluk sepertinya. Aku kesal, tapi tidak marah. Awalnya. Tapi ketika dia mengucapkan rentetan kalimat yang seolah menegaskan bahwa aku tidak pantas untuk siapa pun dan yang tertarik padaku berarti buta, aku sangat tersinggung. Dasar Rafampret gila!

Hello, Gajah! (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang