9. Ketemu Camer?

11.1K 2K 89
                                    

Lagi-lagi, Ririn si bumil muda, memintaku memenuhi keinginannya dengan alasan ngidam. Dia meminta nila bakar, tumis brokoli dan roti gulung. Yang lebih membuatku mengurut dada, dia meminta porsi besar dan mengantarkan ke rumahnya. Tidak tanggung-tanggung, tadi dia mengirimkan bahan-bahannya melalui ojek online. Benar-benar memang. Untung aku baik hati dan tidak sanggup menolak. Bagaimana pun, dia termasuk teman dekatku. Jadi di sinilah aku sekarang. Di rumah Mario, dengan dress rumahan warna hitam.

"Lo berani bayar sama kayak gaji dari bos gue nggak?" Aku menaruh rantang tingkat di atas meja, kemudian mendudukkan diri di sofa. "Lumayan tuh, biar ada manfaatnya gue jadi babu lo."

"Elah, gitu aja ngambek." Ririn beringsut menggeser pantat, lalu memeluk lenganku. "Demi ponakan lo, nih."

"Hilih itu mulu yang jadi alasan lo." Aku memutar bola mata.

"Ya kan ini emang maunya si baby." Dia mengerucutkan bibir sok imut. "Emang lo mau besok pas lahir anak gue ileran? Mau?"

"Alah bapaknya udah tua juga kalau merem langsung ileran."

"Hust!" Ririn langsung mencubit lenganku. "Rahasia negara. Jangan sampai fans Mario tahu."

Aku tertawa. "Kalau aja gue haters seorang Mario Wiryawan, udah gue beberin tuh keburikan Marimar Wiryawan."

"Mario Wiryawan!" Ririn kembali mencubit lenganku. "Lo harus bikin bubur merah dulu kalau mau ganti nama anak orang!"

"Oke." Aku pura-pura antusias. "Lo punya beras nggak di rumah? Gue bikinin sekarang."

"Jangan ngadi-ngadi deh lo. Mana mau gue punya laki yang namanya Marimar? Dikira lesbi entar!"

"Ya lo ganti nama jadi Ferguso."

Ririn bergidik jijik, membuatku terbahak.

"Eh by the way, Marimar di mana? Minggu masa masih kerja?"

"Emang kerja sih." Ririn mengedikkan bahu, mengambil rantang paling atas dan membukanya. "Wah roti gulung!"

Aku menggeleng kecil melihatnya yang kini tanpa sungkan melahap roti tawar gulung yang kuisi dengan selai pisang dan kugoreng setelah digulingkan ke tepung roti. "Beneran kerja? Nggak sayang keluarga banget si laki lo."

"Cuma di jalan kompleks kok, muter-muter aja."

"Lah? Katanya kerja?"

"Iya, bikin konten sama temen artis."

Aku mengangguk-angguk. Meliriknya yang terlihat lahap. "Enak?"

"Mantap!" Ririn mengacungkan jempol sembari menyengir.

Aku tersenyum kecil. Cukup bangga, setiap melihat orang lain menikmati makanan buantanku. Dan sejak dulu, memang hanya Ririn dan Mario yang menodong tanpa sungkan. Di rumah aku jarang memasak, karena Ibu lebih jago dan seringnya tidak rela membiarkan memasuki wilayah kekuasaannya a.k.a dapur. Paling kalau tidak malas dan bisa masak, aku membuat makanan untuk dibagikan ke karyawan yang berkumpul di pantry kantor. Ya, walaupun sekretaris dan tidak punya teman satu divisi, aku berbaur kok dengan karyawan lain.

"Perut lo kayak rada rata, Ndut." Ririn menepuk-nepuk perutku.

"Kelihatan? Masa?"

"Dikiiit sih." Ririn menyentuhkan kuku jempol ke kelingking. "Turun berapa kilo?"

Aku menghela napas. "Tiga."

"Nggak apa-apa. Dikit-dikit lama-lama jadi bukit." Ririn menepuk-nepuk pundakku. "Yang penting lo dietnya sehat dan nggak memaksakan. Jangan bikin Mario ngamuk lagi."

Aku meringis. Belakangan ini aku memang sedang proses diet. Bukan yang terlalu bekerja keras sih, tapi yang mengalir saja. Hanya olahraga rutin dan mulai memperhatikan apa pun yang kukonsumsi. Tidak ekstrim sama sekali. Kata Uda, niatnya harus untuk kesehatan bukan penampilan. Karena bagi Uda bahkan Mario, penampilanku dari dulu sudah cantik dan menarik. Itu sih bikin geli. Kelihatan bohong sekali gombalan mereka bukan?

Hello, Gajah! (REPOST)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن