25. Kanibal

9.9K 1.8K 69
                                    

25. Kanibal

Dan ya, Minggu yang dijanjikan Rafa benar-benar datang dengan cepat. Saat ini dia sedang berbicara pada Ibu, lebih tepatnya meminta izin untuk mengajakku pergi ke Panti Asuhan Adyaksa. Ibu yang sudah tahu dari kemarin-kemarin, menunjuk beberapa barang yang memang sudah kami persiapkan sebelumnya. Rafa tanpa pikir panjang langsung mengangkutnya ke mobil. Aku sendiri ikut membantu.

Di antara barang-barang itu, ada kue-kue buatan kami, makanan ringan, dan baju baru ukuran anak-anak hingga remaja. Ya, baju baru, bukan bekas. Aku dan Uda, dibantu Uni Nana semalam sengaja membelinya. Kami memang bukan dari orang berada seperti orang-orang di lingkaran Rafa, tapi kami berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anak kurang beruntung itu. Bagaimanapun, aku dan Uda juga pernah merasakan sedihnya menjadi yatim.

"Wah." Aku melongo takjub ketika melihat isi bagasi dan jok belakang mobil Rafa. "Banyak banget."

"Biar buat stok jajanan mereka, dong." Rafa tersenyum setelah semua barang masuk bagasi. "Lebih banyak yang anak kecil daripada remaja, soalnya."

"Yang remaja, nggak ada yang cowok?"

"Sekarang nggak ada. Dulu sebenarnya ada satu anak, tapi udah diadopsi pas dia masuk SMA."

Aku mengangguk-angguk. "Ya udah, berangkat sekarang yuk?"

"Pamit sama mertua dulu."

"Dih ngaku-ngaku!"

Rafa tertawa kecil, sambil menarik tanganku dan kami berjalan memasuki rumah. Di ruang tamu, sudah ada Ibu, Uda, Ririn dan Mario. Dan sebelum benar-benar berangkat, kami harus meladeni godaan-godaan dari Ririn dulu. Kalau Mario sih, sejak tahu aku dan Rafa menjalin hubungan, dia sesekali jadi menatap Rafa dengan sinis. Yah, dia kan memang lebih overprotektif dari Uda yang notabene kakak kandungku.

"Lebay banget sepupu kamu!" Rafa kembali mengomel kesal saat mobilnya sudah mulai melaju. Padahal tadi sudah adu debat dengan Mario.

Aku hanya tertawa. Itu gara-gara tadi Mario memberi banyak sekali pesan padanya, mulai dari 'jagain Ndut', 'awas kalau pulang-pulang, dia lecet', 'jangan sampai ada warganet yang tahu muka Ndut', hingga petuah-petuah lain yang berisi ancaman. Ibu sampai harus menegurnya, sementara Ririn dan Uda malah tertawa setuju.

"Pakai manggil-manggil 'Ndut', lagi. Apa-apaan itu? Kayak bocah!"

Aku langsung menabok lengannya. "Lo juga manggil gue 'Gajah'! Dasar nggak nya-"

"Apa tadi?" Rafa langsung memotong dengan mata memicing. "Coba ulangi, kamu manggil aku apa?"

Aku mengatupkan mulut, lalu menyengir begitu menyadari kesalahanku. Memang seminggu ini, tidak bisa dihitung dengan jari, aku masih keceplosan berbicara 'lo-gue' dengannya. Dan jangan anggap ancaman Rafa hanya wacana. Dia benar-benar menghukumku dengan ciuman, yang sejujurnya sampai sekarang masih selalu membuatku terkejut, juga tersipu.

"Awas ya entar kalau aku udah nggak nyetir!"

Aku mengacungkan jari telunjuk dan tengah. "Peace."

"Nggak ada, ya. Aku udah sering maafin kamu seminggu ini." Lalu seketika bibir cemberutnya berubah jadi seringai. "Atau kamu sengaja, biar sering-sering aku cium?"

"Enggak!" Walaupun membuat jantung berdebar, tentu aku tidak akan sengaja minta dihukum seperti itu.

Rafa kembali cemberut, baru akan bicara lagi tapi terinterupsi oleh nada dering ponselnya. Dia segera mengangkat telepon itu tanpa ribet karena earphone bluetooth sudah terpasang di telinganya. Aku mengerutkan kening saat tiba-tiba Rafa mengumpat sambil menyentuh telinganya.

Hello, Gajah! (REPOST)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz