12. Karma Terindah, Katanya

10.9K 2K 94
                                    

"Kamu kenapa?"

Aku menoleh pada Mas Eki yang duduk di kursi kemudi. "Kenapa apanya?"

"Kayak lesu." Mas Eki mengulurkan tangan untuk mengusap bagian bawah mataku. "Dan mata panda. Kamu kurang tidur?"

Aku hanya menyengir kaku. "Marathon webdrama Riza Ramadhan."

Mas Eki berdecak. "Emang nggak bisa ditonton pas luang aja?"

"Malem kan luang."

"Dan mengurangi waktu tidur kamu."

Aku lagi-lagi menyengir, sambil dalam hati meminta maaf pada Riza karena telah menjadikannya alasan. Oh ya, pagi ini Mas Eki mengantarkanku ke kantor. Katanya kesibukan kerjanya sudah tidak terlalu, sehingga dia bisa meluangkan waktu mengantarku kerja mulai sekarang. Sebenarnya aku ingin bertanya, apakah kesibukannya mengurus Mia juga sudah berkurang? Tapi aku malas memancing keributan.

"Oh ya, maaf ya semalam nggak bisa nemenin di acara anniversary bos kamu."

Aku menggeleng dan tersenyum kecut. "Emang kapan Mas bisa nemenin aku?"

Mas Eki kelihatan tertegun, padahal niatku hanya bercanda. Walaupun setengah serius juga. Lalu aku terkejut saat dia meraih tanganku. "Maaf."

"Nggak apa-apa," jawabku pelan.

"Aku maunya mengabaikan Mia, Lin, tapi nggak pernah bisa. Rasa bersalahku selalu bikin aku tinggal."

"Iya." Aku memilih mengalah, meskipun rasa ingin mencercanya sangat besar. "Aku kan bilang, nggak apa-apa. Mia lebih butuh kamu."

"Aku sayang kamu."

Aku tersenyum miris. Sayang sebagai apa? Sebagai calon istri yang entah kapan akan dinikahi? Atau seseorang yang terpaksa disayangi karena tanggung jawab perjodohan? Aku ingin menanyakan itu sebenarnya. Jujur, kadar kepercayaanku pada Mas Eki makin menipis. Aku selalu merasa menjadi orang ketiga di antara dia dan Mia. Seperti seorang perempuan yang mengemis perhatian yang harusnya seutuhnya milik Mia. Tapi lagi-lagi hati lemahku mengatakan bahwa aku harus berusaha memberi kesempatan untuk percaya. Bahwa Mas Eki dan Mia memang sebatas sahabat. Semoga.

"Makasih udah antar." Aku mengucapkan itu, tepat setelah mobil Mas Eki berhenti di depan gedung kantor.

"Sama-sama." Mas Eki mengusap pipiku. "Nanti aku usahakan jemput kamu."

Aku mengangguk, meski dalam hati tidak terlalu berharap. Memasuki gedung, tiba-tiba ingatanku tertuju pada kejadian semalam. Hal yang membuatku terjaga semalaman dan baru bisa terlelap pukul tiga pagi. Tentu saja apa lagi kalau bukan pengakuan gila si artis kampret itu?

"Jangan ngawur!" desisku semalam. Entah bagaimana kondisi wajahku, yang menjadi sorotan keluarganya di meja itu.

"Kenapa ngawur? Emang salah, suka sama lo?"

Aku berdecak, menggeleng tak percaya, lalu memilih menatap orang lain di meja itu. Bukan untuk mengobrol, tapi mengucapkan kata 'permisi' dan menyingkir dari sana. Kebetulan sekali Mario dan Ririn hanya berdua di salah satu meja, jadi aku memutuskan bergabung bersama mereka. Dapat kulihat keheranan di wajah pasangan itu, tapi mungkin karena melihat muramnya mukaku, mereka tidak jadi bertanya. Jadilah aku mengikuti rangkaian acara bersama mereka, meski satu kali tak sengaja menoleh, aku melihat Rafa sedang berbicara serius dengan Gio dan Pak Ken.

Tapi ketika tiba acara dansa, aku ditinggalkan oleh Ririn dan Mario. Jadi karena suntuk, aku memilih keluar dari ballroom dan mencari udara segar di taman yang tak jauh dari sana. Dan ya, aku menyesali itu karena ternyata Rafa tiba-tiba muncul dengan ekspresi kecut.

"Lo ngikutin gue?" tanyaku ketus.

Rafa cemberut, ikut duduk di bangku besi yang kududuki sendirian tadi. "Segitu nyebelinnya ya disukai sama gue?"

Aku berdecak. "Tanya sama diri lo sendiri."

"Diri gue? Diri gue bilang, lo harusnya seneng disukai sama artis ganteng dan bertalenta bernama Rafael Fikri Pradipta. Jutaan cewek di Indonesia Raya ini punya impian berjodoh sama gue. Lah elo? Malah pasang muka terbebani gini. Jiwa keartisan gue terluka, tahu."

"Ya kalau gitu naksir aja sana sama jutaan cewek di Indonesia Raya ini. Yang pasti bukan gue."

"Kan gue maunya elo."

"Gue udah tunangan, woi!" seruku kesal.

"Baru tunangan ini, belum nikah. Masih gampang nikungnya," jawabnya santai.

"Nggak waras lo!"

"Nggak waras karena kamu, Mbak Gajah-ku." Dia melayangkan kecupan di udara, yang membuatku bergidik seketika.

"Itu!" Aku menunjuk hidungnya. "Itu yang gue maksud! Nggak masuk di akal, lo naksir sama cewek yang di masa remaja lo hina dan bully habis-habisan dengan panggilan gajah, yang lo permaluin di depan orang banyak hanya karena ngira gue kasih surat cinta ke elo. Dan kalau lo nggak tahu, elo dan panggilan gajah lo itu, bikin gue di kampus harus dipanggil dengan panggilan itu. Dan sekarang lo, dengan seenaknya ngaku naksir gue? Wajar kalau gue nggak percaya, kampret!"

"Maaf soal yang dulu-dulu." Rafa menyengir. Tapi sekilas, aku bisa melihat kesungguhan di matanya. "Tapi gue janji, bakal bikin lo percaya kalau gue serius."

"Nggak perlu. Gue nggak butuh. Toh gue nggak bakal terima lo. Entah itu serius atau cuma keisengan lo karena lagi gabut."

"Gue bakal pastiin lo terima perasaan gue."

"Nggak bakal!"

Rafa menghilangkan cengiran di wajahnya. Berganti dengan senyum yang aneh, karena tak pernah kulihat sebelumnya. Seperti senyum Mario pada Ririn, atau Pak Galang pada Bu Nina. Hal yang membuatku seketika merasa ngeri.

"We'll see," katanya pelan semalam, sebelum aku memutuskan pergi meninggalkannya di taman.

Teringat itu, aku menggeleng kuat-kuat. Lalu menoleh malu ketika sadar bahwa sembari melamun, ternyata aku sudah berada di lift bersama beberapa karyawan. Mereka terheran-heran menatapku. Karena itu setelah lift terbuka  aku langsung bergegas keluar. Dan ketika memasuki ruang kerja, rahangku nyaris terjatuh melihat apa yang ada di mejaku. Sebuah buket bunga dengan ukuran besar sekali, dan satu kotak biskuit bayi. Ada juga sebuah tupperware dengan tulisan 'hot chocholate for Mbak Gajah'.

Aku berdecak kesal, menyadari siapa pelaku yang memberikan ini. Saat akan menaruh buket itu ke lantai bawah meja, aku menemukan sebuah kertas terselip di antara bunga.

"mencintaimu adalah karma terindah dalam hidupku"

from your R

Ada yang rela meminjamkan baskom? Aku mual!

***

Maaf kalau kurang nge-feel. Aku nulisnya ngebut sambil nahan sakit hehe. Doain ya. Makasih semuanya ♥️

Hello, Gajah! (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang