3. Emosi Jiwa

12.2K 2K 133
                                    

Rafael Pradipta adalah satu dari sekian hal menyebalkan yang menghantui masa SMA-ku. Dia dan teman-teman satu gengnya itu begitu senang meledekku. Aku masih ingat hari di mana dia menjulukiku 'Gajah'. Hal yang sebenarnya tak pernah kulupakan sampai sekarang.

"Rafa, bisa ngomong bentar nggak?" Aku menatap salah satu dari lima siswa yang sedang berkumpul di pojokan kantin.

Mereka ini sedang mangkir dari pelajaran olagraga. Sedangkan aku yang izin ke toilet saat pelajaran Matematika, memanfaatkan kebetulan ini. Mumpung sepi dan tidak banyak yang melihat.

"Apaan? Lo siapa? Gue nggak kenal lo kayaknya." Rafa menatapku lekat dan terheran-heran. Lalu menoleh pada teman-temannya. "Kalian kenal?"

Mereka semua menggeleng.

"Aku Berlin, anak pindahan, baru seminggu." Aku mengatakan itu, membantu kebingungan mereka.

"Anak baru kok udah kenal gue?"

"Siapa sih yang nggak kenal seorang Rafael Pradipta?" ceplosku.

Keempat temannya bersorak, sementara Rafa manggut-manggut. "Bener juga. Gue lupa kalau gue most wanted di Galaksi."

Aku berusaha untuk tidak memutar bola mata. "Aku mau ngomong bentar. Berdua."

"Kenapa nggak di sini aja?"

Aku berdecak. "Kan aku bilang berdua. Artinya cuma aku sama kamu."

"Aku dan kamu jadi kita. Ihiiir!" Salah satu temannya yang bernama Banu, menyeletuk. Tiga temannya kembali bersorak heboh. Tidak waras!

Rafa berdecak. "Ngomong apa sih kudu berdua? Paling lo mau nembak gue. Iya kan? Paham gue. Nggak usah malu-malu. Di sini aja. Biar ada saksi di antara kita."

Mereka semua kembali terbahak, termasuk Rafa. Aku benar-benar memutar bola mata.

"Nggak usah geer." Aku mengeluarkan amplop dari saku rok dan menaruhnya di meja yang kini berserakan plastik bekas chiki. "Nih, ada titipan. Katanya, dibaca pas sendiri aja."

Setelah itu aku berbalik dan melangkah meninggalkan mereka. Kuembuskan napas lega. Selesai juga kewajibanku.

"ANJIR!"

Aku yang baru melangkah sampai pintu kantin, langsung berhenti saat mendengar umpatan itu. Membalikkan badan, keningku berkerut menatap Rafa yang sudah berdiri dengan wajah tak percaya. Keempat temannya terbahak-bahak.

"Lo!" Rafa menunjukku, berderap melangkah mendekat.

"Apa?" tanyaku bingung.

"Lo serius nembak gue?!" Rafa berhenti selangkah di depanku, telunjuknya bahkan sudah tepat di depan hidungku. "Ngasih surat cinta buat gue? Wah wah wah. Waras lo?"

Tentu saja aku memelotot. "Maksud kamu?"

"Nih, gue balikin!"

Aku menangkap gumpalan kertas yang dia lempar. Dengan cepat kubuka dan membacanya. Pelototanku makin besar. Gila. Siapa yang menulis nama Berlin di dalam sini?

"Ini sal-"

"Perlu gue kasih duit buat beli kaca?" Rafa berkacak pinggang, menatapku remeh. "Dengan naksir gue, lo harusnya tahu kayak gimana cewek yang boleh nembak gue. Yang cantik, putih nggak dekil, dan yang paling penting langsing. Nah elo? Sadar diri, kek. Body lo udah macam gajah bunting gini, naksir gue. Otak lo udah ditenggelemin lemak? Dasar gajah!"

Aku bahkan tidak bisa berkata-kata setelah mendengar hinaannya itu. Hanya mematung dengan perasaan tersinggung dan bingung. Sampai tawa yang membahana dari berbagai sisi, membuatku sadar kalau saat ini kami sudah jadi tontonan. Jam istirahat sudah tiba. Kata gajah dan gajah saling bersahutan dengan gelak tawa. Saat menoleh ke belakang dan melihat seringai Dira—teman baruku—, barulah aku sadar situasi. Aku dikerjai!

Hello, Gajah! (REPOST)Where stories live. Discover now