Part 24

355 76 33
                                    

‍‍‍‍‍‍‍"Zee tolong pegang ini," ujar Jiwa sembari menyerahkan miniatur rumah yang terbuat dari stik es krim kepada Zee.

Gadis itu menerimanya dengan malas. Detik setelahnya naik ke atas motor. Kuda besi tersebut mulai melaju dengan kecepatan normal. Matahari sudah menampakkan diri setengahnya. Embun di pagi hari, diikuti dengan bulir kristal yang menetes dari ujung daun, membelai netra.

Melirik wajah adiknya dari kaca spion, seterusnya Jiwa berkata, "Hati-hati ya, Zee. Kalo miniaturnya jatuh bis—"

Tidak ada kalimat tambahan. Yang terdengar hanya suara hantaman, tetapi tidak terlalu keras. Miniatur tersebut terlepas dari tangan Zee. Untungnya masih utuh tergeletak di atas aspal.

Keduanya turun dari kendaraan. Saat hendak mengambilnya, sebuah motor dengan kecepatan tinggi menggilas miniatur tersebut. Jiwa langsung bersimpuh. Tatapan matanya sesaat hampa, namun berubah tajam ketika menatap sang adik.

"Gak sengaja, Bang." Sebelum Jiwa mengoceh, Zee secepatnya bersuara.

Tidak membalas ucapan Zee. Yang Jiwa lakukan adalah naik ke atas motor dan pergi begitu saja meninggalkan Zee yang terdiam kaku.

"Woy, kampret!" Berteriak, cewek itu tak lantas patah semangat. Dia menghentikan sebuah angkot dan masuk seraya berdesakan dengan penumpang lain.

"Woi, tolongin saya pengen muntah." Teriakan Zee sontak membuat para penumpang bergidik sambil langsung menjaga jarak.

Gadis itu diam-diam terkekeh. Tentu saja ini adalah trik supaya ia mendapatkan lebih banyak ruang, biar bisa bergerak bebas. Ia tidak perduli dengan tatapan jijik yang mereka layangkan ketika dirinya berlagak menahan muntah.

Tak lama dari itu, angkot akhirnya berhenti. Setelah membayar, Zee langsung mengayunkan kaki memasuki gerbang SMA Kanigara.

Begitu sampai di koridor, Zee justru melihat Gasta yang tengah menggendong Irsya. Gadis itu mendengus sedikit kesal lalu balik kanan.

"Zee!" Gasta memanggil, tetapi tak di gubris oleh sang empu.

Di pertengahan jalan, Zee bertemu dengan Ganta. Cowok itu tengah bergandengan tangan dengan Havika. Lagi-lagi Zee mendengus sembari menatap sinis. Menyebalkan; satu kata yang dapat mendeskripsikan awal harinya.

"Zee, kalo udah gak ada semangat hidup mending lo pindah aja ke alam barzah. Itu muka frustasi amat."

Zee hanya mengacungkan jempolnya untuk menanggapi cibiran Ganta.

"Kenapa lo?"

"Jangan ngajak ribut dulu ya. Ayo gendong gue ke kelas," pinta gadis itu.

Havika mengeratkan pelukannya di lengan Ganta, lantas berujar, "Kakak anterin aku ke kelas. Aku takut ... kemarin aja ada lelaki yang gangguin aku."

Anjir, caper banget nih orang, umpat Zee dalam hati.

"Pat, ayo." Merentangkan kedua tangan, ia menatap Ganta dengan binar harapan.

"Kakak plis, aku takut banget. Takut mereka cegat aku lagi, terus ...." Havika menggantung ucapannya. Dia bergerak gelisah, memainkan jemarinya. "Terus mereka pegang-pegang tangan aku lagi," lanjutnya dengan lirih.

Ganta terkesima. Ia memutar tubuhnya ke samping—berhadapan dengan sang adik. "Apa?! Siapa yang udah berani sentuh kamu?"

"Aku gak tau. Yang jelas mereka kakak kelasku. Makannya aku minta Kak Ganta buat anterin aku sampe ke kelas." Havika itu pandai memainkan topeng. Maka, tidak heran jika Ganta gampang luluh kala melihat wajah lugu gadis tersebut.

Jijik banget, cuih! Zee kembali menggerutu dalam hati.

"Zee, gue—"

Tanpa membiarkan Ganta menyelesaikan kalimatnya, Zee langsung melengos pergi.

RECOGNIZED(END)Where stories live. Discover now