“Kapan kamu akan bangun, Nadira ...? Apa belum puas menyiksa orang-orang yang sayang ke kamu?” Suara Alister bergetar. Dia menggenggam lengan Nadira sembari menundukkan kepala, berharap mendapatkan respons dari lawan bicaranya. “Nadira  ... kamu, tahu, ‘kan, kalau kamu tidak akan tergantikan? Jadi, kumohon  ... bangunlah  ....”

Alister tidak menyesali tindakan yang mengajak bicara orang yang amat mustahil merespons pembicaraannya. Asalkan itu demi Nadira, tentu dia tidak akan keberatan, tetapi sepanjang usaha yang Alister perbuat, Nadira-nya tidak pernah menunjukkan tanda-tanda pemulihan dari minimnya aktivitas otak.

Namun, satu hal yang menjadi penyesalannya hingga sekarang adalah keputusan meninggalkan Nadira hari itu, hanya karena alasan sepele. Dasar bodoh! Beberapa kali pun Alister memaki dirinya sendiri, sebelum ungkapan maafnya diterima oleh Nadira, dia yakin akan hidup dalam rantai penyesalan yang lama.

•oOo•

Bagi orang yang koma, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi dengan caranya bertahan hidup, seperti cara dalam bernapas : bernapas dengan usaha sendiri dan ada juga yang membutuhkan mesin untuk membantu proses pernapasannya.

Seseorang dengan kondisi neurologis langka, berupa sindrom terkunci, di mana pasien cenderung sadar dengan kondisi yang memiliki kemampuan untuk berpikir, tetapi secara fisik, dia tidak mampu menggerakkan bagian tubuh mana pun, termasuk caranya dalam bernapas. Oleh karenanya, Dokter akan memasang alat medis berupa respirator jika Nadira mengalami kesulitan dalam pernapasan dan akan menangani kondisi Nadira sesegera mungkin.

Semasa setahun belakangan ini, Nadira sudah berteman akrab dengan selang yang dimasukkan melalui mulut dan terhubung dengan paru-paru. Rasa tak nyaman akibat bagian dalam mulut karena dipasangkan selang di antara jalur yang menghubungkan saluran pernapasan dan saluran pencernaan, sehingga selang yang dimasukkan dalam mulut dapat mencapai paru-paru, pasti membuat siapa pun yang melihatnya turut merasakan perasaan simpati.

Belum lagi untuk menjadi tubuh Nadira yang membutuhkan segala asupan cairan dan nutrisi, para ahli medis akan senantiasa memberikan obat-obatan untuk dikonsumsi agar tubuhnya yang koma, tetap sehat. Mengingat keadaan Nadira yang mengalami kondisi tidak sadarkan diri, para petugas medis memberikan obat-obatan tersebut langsung melalui pembuluh darah vena.  Hal demikian bertujuan supaya obat, nutrisi dan cairan  yang diberikan, bisa langsung masuk ke dalam perut.

•oOo•

Dalam kamar bernuansa serba biru tua, Kyra bertopang dagu di meja belajar sambil mengamati potret keluarga Bachtiar yang di ambilnya secara diam-diam. Dalam potret tersebut, jika dibalikkan posisi gambarnya, maka terlihat potret lain yang sengaja disembunyikan. Karena pastinya, jika ketahuan oleh Akalanka atau Papa, Kyra akan mendapatkan ceramah panjang lebar yang berujung dengan peringatan tegas.

Kyra hanya ingin sadar diri akan batasannya. Karena, di rumah megah yang didiaminya sekarang ini, hak-haknya masih terasa mengambang. Dia seperti berjalan di atas serpihan kaca tipis, di mana jika dia melakukan kesalahan dalam menapaki jalan, maka dirinya akan berakhir dengan kehancuran.

“Ah, sepertinya aku memang seharusnya tidak berada di sini.” Lenguhnya dibarengi dengan tangan yang terjulur mengusap potret dari gambar tersembunyi tersebut. Terlihat bahwa empat nyawa yang memiliki kemiripan pada satu sisi, tersenyum bahagia ke arah kamera.

Katakan kalau ada rasa iri yang menyelinap dalam sanubarinya, terlebih ketika melihat lengkungan kedua sudut bibir Alister yang tidak pernah diperlihatkan kepadanya. “Kamu tahu, Nadira, bahkan di antara kealpaanmu itu, pikiran mereka selalu tertuju padamu, tahu,” gumam Kyra.

Kini pandangannya berganti pada potret gadis yang diapit oleh kedua pria muda—Akalanka dan Alister—dengan Zahair versi lebih muda, berada di belakang Nadira sedang merangkul ketiga putra-putrinya dalam satu pelukan besar menghadap kamera.

“Sebenarnya, apa yang saat itu terjadi padamu? Aku sungguh ingin tahu.”

Tak terasa, saat jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam, pintu kamar Kyra diketuk oleh seseorang. “Masuk!”

Seperti biasanya, senyuman hangat menyapanya ketika kepalanya sudah menyembul dibalik pintu. “Kakak!” Kyra selalu merasa ada letupan bahagia ketika matanya menangkap sosok Akalanka yang dengan murah hati akan membagikan setiap kasih sayang kepadanya. Dalam bentuk sekecil apa pun.

“Abis belajar, Ky? Bukannya masih libur, ya?” Akalanka lantas menyimpan segelas susu hangat di samping meja belajar yang digunakan oleh Kyra.

Mata gelisah Kyra segera membulat ketika Akalanka hendak membalikkan sebuah pigura yang tertelungkup.

“Ah, i-iya. Sori, Kak, mejanya berantakan.” Kyra pura-pura membetulkan meja belajarnya yang tak sepenuhnya rapi. Tangannya diam-diam menyembunyikan potret yang dirahasiakan untuk terselip dibalik tumpukan buku-buku yang secara acak dirapikannya.

Akalanka menilik curiga pada tingkah Kyra, dia menyipitkan matanya seraya berkata, “Kamu nggak lagi dapet, ‘kan?”

Kyra lantas menggeleng. Dia tertawa canggung. Tubuh mungilnya seketika berdiri di hadapan meja belajar, sehingga menyulitkan bagi Akalanka menjangkau sesuatu dari tempat tersebut. Setidaknya, itulah pemikiran Kyra. Namun, ketika lengan Akalanka berhasil meraih benda yang paling mati-matian berusaha di sembunyikan, Kyra sangat ingin untuk menelungkupkan wajahnya pada bantalan yang dapat mengubur hidupnya. Habis ... sudah!

1825 [ON HOLD]Where stories live. Discover now