(37) Tidak Berhak?

Começar do início
                                    

Urban memicingkan matanya. "Beri apa tadi?"

Joyko gelagapan, dalam hatinya dia mengumpati bibirnya yang nyaris keceplosan. "Beri...."

"Beri apa?"

"Heh, otak lo lemot banget si anjir. Cepet mikir," batin Joyko.

"Berikan aku kasih sayang, muach."

Urban begidik. "Najisong."

Abar sudah selesai dengan ritualnya. Kini wajahnya nampak lebih cerah dan segar setelah dicuci dengan sabun muka serta air wudu. Rambutnya disisir rapih. Pakaiannya masih tetap seperti tadi, hanya celananya diganti dengan sarung. Abar berusaha menarik kedua ujung bibirnya agar kembali bisa tersenyum.

Akan tetapi, mengapa seolah terasa berat?

Dan... di mana Gera?

"Ayo."

Abar, Urban, serta Joyko menuruni anak tangga. Pak Tagram yang semula duduk di sofa ruang tamu, langsung berdiri dan memeluk erat tubuh muridnya. Afiza duduk terdiam dengan bingkisan dari warga sekolah di tangannya. Meskipun Abar adalah warga baru di SMA Islamiyah, tidak membuatnya dianggap asing.

"Abar, saya turut berduka cita atas kematian bunda kamu. Jangan pernah menyerah untuk terus melangkah. Kehilangan merupakan hal yang lumrah, nak. Anggap saja rasa sesak yang kamu rasakan sebagai cambuk untuk membuatmu maju di masa depan. Teruslah melangkah, di sana ada yang sedang menantimu. Masa depan cerah."

Mendengar penuturan dari Pak Tagram, Abar tak kuasa lagi menahan tangisnya.

Bahkan Joyko, Taya, Aham, serta Pytha baru kali ini melihat sosok Aljabar Linear Baritma terlihat rapuh. Senyuman yang biasa menghiasi wajahnya, lenyap entah ke mana.

Afiza menatap prihatin. "Semoga Allah menguatkan hati kamu, Bar," gumamnya, tanpa didengar oleh siapapun.

•••

Pukul 22.00

Semakin banyak diksi-diksi indah yang terucap, semakin resah akan jarak yang kelak akan bertindak.

Memori-memori dari diksi itu sudah pasti akan sulit dienyahkan.

Dipeluk erat, takut timbul derita, dilupakkan rasanya tak mungkin bisa.

Bola mata Gera bergerak membaca huruf-huruf yang tersusun menjadi sebuah kalimat indah. Taksi sedang melaju kencang menuju rumah Abar. Jendela mobil sengaja di buka oleh Gera, dia ingin menghirup bau-bau hujan yang sudah reda.

Bertukar aksara denganmu membuat senyuman di bibir tercipta.

Akan tetapi, siapa tahu perihal hati yang sedang menjerit pilu karena tak berhasil mengutarakan rasa.

Pahami kata-kataku meski sulit dicerna.

Rasanya tidak mungkin jika hati bertukar peran dengan lisan.

Jika hati berucap, hanya diri yang mendengar.

Jika mereka bertukar peran, mungkin akan terjadi kekacauan.

"Mbak, sudah sampai ditujuan."

Gera menutup buku diary milik Logan, memasukannya ke dalam tas. Setelah membayar taksi, dia turun dan berjalan memasuki rumah Abar dengan santai. Seolah tidak pernah mendengar nasihat yang Abar katakan.

Saat Gera akan membuka pintu, tiba-tiba pintu itu terbuka dan menampilkan Abar yang sedang bersedekap dada. Dia memonitori penampilan Gera yang hanya mengenakan dress selutut basah karena air hujan, bagian lengan terbuka, serta rambut yang tidak tertutup sehelai kain pun.

Gera berusaha untuk memasang ekspresi senormal mungkin. Padahal hati kecilnya merasa takut.

Dengan tatapan dingin serta tanpa sepatah kata, Abar mendekati Gera dan menggendong istrinya dengan model bridal style ke dalam kamarnya.

"Abar, turunin aku!" Gera berusaha memberontak ketika, tetapi Abar semakin mengeratkan tangannya pada tubuh Gera hingga mereka tiba di kamar mandi.

Abar menurunkan Gera dari gendongannya dan menaruh istrinya itu di dalam bathub berisi air hangat. "Mandi," titah Abar dengan suara tegas, dia keluar dari kamar mandi.

"Abar!" Gera bangkit dari bathub, tubuhnya sudah basah kuyup. Dia berusaha membuka pintu yang ditutup Abar, tetapi tidak bisa. "Tega kamu ngunci aku di kamar mandi?!"

"Maksud kamu apa giniin aku, Abar?!"

"Kamu denger teriakan aku nggak sih?"

Gera  berteriak, tetapi tidak didengar oleh Abar karena cowok itu sedang mengemas semua pakaian-pakaian milik Gera.

"KAMU JAHAT!"

Perkataan Gera yang terakhir membuat emosi Abar membeludak seketika. Dia berjalan dengan langkah cepat dan membuka pintu kamar mandi dengan kasar. Dia mendekati Gera dan berteriak tepat di wajah istrinya, "KAMU BILANG AKU JAHAT?" Abar menatap Gera tidak percaya. "APA AKU NGGAK BERHAK MARAH SAMA KECEWA?"

"IYA, KAMU JAHAT. MAKSUDNYA APA PERLAKUIN AKU KAYAK GINI?" Gera balas membentak, kemudian menunduk takut.

Abar memejamkan matanya sebentar, menarik napas, berusaha agar tidak kelepasan. "Bunda aku meninggal dunia, aku berduka, kehilangan, sakit, sesak," Nada bicara Abar turun beberapa oktaf.

"Apa kamu nggak ada niatan buat berdiri di samping aku, genggam tanganku, peluk tubuhku, dan hapus air mataku?" ucap Abar lirih, matanya berkaca-kaca.

Gera menggigit bibir bawahnya. Dia terjebak di sebuah dilema. Kesedihan saat ia kehilangan mamanya serta melihat Abar yang nyaris menangis.

Abar menekan giginya, dia tidak boleh menangis saat ini. "Aku bodoh karena terlalu berharap sama kamu." Abar menyeka ujung matanya, sebelum air mata itu jatuh.

"Sekarang kamu mandi, bersihin diri. Aku nggak mau lihat kamu sakit."

"Semua pakaian kamu sudah aku siapkan. Sebagai suami kamu, aku punya tanggung jawab di dunia maupun di akhirat. Pakai pakaian yang sudah aku siapkan."

Gera terdiam, dia tidak tahu harus berkata apa.

Abar menarik napas, berusaha agar emosinya tidak kembali membeludak. "Habis mandi, jangan lupa makan setelah itu langsung tidur, nggak usah nyariin aku."

"Aku pergi dulu."

Setelah mengatakan itu, Abar menutup pintu kamar mandi dan pergi ke luar rumah menggunakan Jamet miliknya.

•••

Ada yang mau ditanyain?

Yey mereka geludd😍😛

See you next chapter!

mrentymrn

Aljabar Onde histórias criam vida. Descubra agora