(14) Diculik

44 9 0
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Abar merasa indra pendengarannya menangkap suara yang menyebut namanya. Langkah Abar terhenti. Dia melepas earphone dan membalikkan tubuhnya. Betapa terkejutnya ketika Abar melihat sosok driver yang ditemuinya beberapa hari lalu, bedanya tidak ada jas berwarna hijau yang membalut tubuhnya. Mata Abar kian membulat saat netranya menangkap sosok Gera terbaring lemah di jalanan gang.

"Allahuma!" Saat Abar akan berjongkok dan mendekati Gera. Pria paruh baya bertato itu menghalanginya.

"Hai, Mas. Kita bertemu lagi. Apa kabar? Kok gak sekolah? Di skors, ya?" Pria paruh baya itu mengejek Abar.

Abar semakin tidak mengerti. Dia kini hanya cemas melihat kondisi Gera. "Om, minggir dulu ya. Temen saya pingsan. Kayaknya dia belum sarapan."

Namun tangan kokoh pria paruh baya itu mendorong tubuh Abar. "Kan emang saya yang bikin dia pingsan." Tangan satunya mengangkat tinggi tongkat kayu. "Pakai ini. Sini giliran kamu!"

"Dih, pamer senjata ceritanya."

Pria paruh baya itu melayangkan tongkat kayunya tepat di depan wajah Abar. Namun, dengan cepat Abar memundurkan langkahnya membuat pukulan itu mengenai udara kosong. Mengetahui hal itu, sang pria paruh baya mengeram marah. Kumis tebalnya terangkat-berusaha menakut-nakuti. Tidak mau menyerah begitu saja, tongkat kayu itu kembali terangkat dan melayang.

Abar tersenyum meremehkan, "Gas keun, Brader! Kita perang!"

Merasa diejek bocah SMA, pria paruh baya tadi balas mengejek. "Nanti nangesssss!"

Tangan kanan Abar menyangga tongkat kayu yang hampir menyentuh wajahnya. Pria paruh baya tadi mengeram kuat agar tongkatnya bisa memukul telak wajah bocah kurang ajar ini. Tatapan Abar beralih pada betis sang pria paruh baya. Abar mengangkat kakinya dan langsung menendang bagian tersebut. Lengkungan kurva terbit di wajahnya ketika paruh baya tadi oleng dan jatuh tepat di bawah kaki Abar.

"Gak nanges, Om." Abar kini yang mengejek. "Waktu masih jadi bocil epep, di setiap malam saya push rank, jadi malah suka kalau perang-perangan gini."

Netranya melirik sosok Gera yang tidak sadarkan diri. "Tahan dulu ya. Gue urus preman gabut gak tahu diri ini." Meskipun Abar tadi marah ketika menduga bahwa Gera adalah mata-mata Malid, namun tetap tidak tega jika harus meninggalkan Gera.

Abar kembali fokus. Sebelum pria paruh baya di depannya berdiri dan menyerangnya lagi, Abar menapakkan salah satu kakinya di atas kepala pria paruh baya dan tangannya mengambil paksa tongkat kayu itu. "Ganteng doang, senjata pakenya tongkat kayu. Eh emang Om ini ganteng? Masih gantengan saya lah, ya. Canda ganteng." Abar menoel-noel pipi pria paruh baya dengan tongkat kayu di tangannya.

"Dasar bocil gak sopan! Minggir!" Pria paruh baya itu berusaha menyingkirkan kaki Abar yang ada di kepalanya. Tenaga Abar jelas akan kalah kuat.

Akan tetapi Abar tidak menyerah begitu saja. Dia memusatkan sasarannya, kemudian berteriak. "Jurus pukulan hamburger, ciattt!"

Dugh

Merasa pantatnya seperti terhantam sesuatu, pria paruh baya itu menjerit. "HEH! JANGAN PUKUL PANTAT SAYA!"

Abar tertawa terbahak-bahak. Berkali-kali Abar melakukan aksi tersebut. Namun, ia tidak bisa berlama-lama melihat kondisi gadis berkepang dua di depannya. "Kenapa Om ini ngincer saya sama cewek ini? Butuh duit pinjaman?"

Abar merogoh tas kecilnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna abu-abu serta logam. "Nih saya kasih lima ribu ya. Buat beli permen." Abar menunduk, dan memasukkan uang tersebut ke dalam saku jeans yang dikenakan pria paruh baya itu.

"Minggir, bocil!" Pria paruh baya tadi berusaha bangun. Namun, dengan tanggap Abar langsung melayangkan tongkat tersebut hinga mengenai bagian belakang kepala.

Pria paruh baya tersebut merasakan kepalanya berdengung. Pandangan di sekitarnya juga perlahan memburam. Kemudian ia jatuh pingsan.

Abar kembali menoel-noel pipi si pria paruh baya untuk memastikan. "Selamat bermimpi indah, Om!"

Setelah memastikan pria di depannya benar-benar pingsan. Abar melangkah mendekati Gera. "Algebra, bangun."

Kelopak mata gadis itu tertutup sempurna. Sebelum terjadi sesuatu, Abar melingkarkan lengan Gera di lehernya dan meletakkan kepala Gera di dada bidangnya agar gadis ini merasa sedikit nyaman. Akan tetapi, Abar merasakan sesuatu yang ganjil ketika menyentuh belakang kepala Gera. "Kok lembek-lembek gini 'sih?"

Abar menaruh kepala Gera di pahanya. Kemudian dia sedikit menolehkan kepala Gera ke samping untuk melihat bagian kepala belakang Gera. "Lah, benjut ternyata."

Dengan perlahan, Abar menyentuh kepangan rambut Gera yang sedikit berantakan. Dia melepas karet yang mengikat rambut Gera dengan perlahan. Abar bisa merasakan rambut Gera yang lembut. "Gila, ini rambutnya panjang banget, mau saingan Mbah Kunti," gumam Abar ketika sudah selesai menguraikan rambut Gera agar peredaran darahnya lancar. Setidaknya mengurangi rasa sakit akibat lebam.

Dengan perlahan, Abar mengangkat tubuh Gera. Dia menggendongnya ala bridal style dan berjalan meninggalkan sosok pria paruh baya yang pingsan. Jalan gang ini masih panjang.

Matahari masih bersinar terik. Namun, angin sepoi-sepoi juga turut mengiringinya. Abar yang tadinya memandang ke depan untuk melihat jalanan gang yang sepi kini menoleh pada wajah Gera yang sudah tertutupi rambut. "Nah 'kan, mirip Mbah Kunti."

Abar meniup-niup rambut Gera agar wajah gadis ini tidak tertutup. "Susah banget rambutnya. Gak mau minggir." Abar masih berusaha meniup-niup. Mungkin jika Gera dalam kondisi sadar, mana sudi indra penciumannya menghirup bau jigong Abar.

Sialnya, angin kembali membuat wajah Gera tertutupi rambutnya. "Ey, minggir! Nanti dia gak bisa napas!" Abar berseru-seru kesal.

Jika saja gang ini dihuni oleh penduduk, sudah pasti Abar akan dicap orang tidak waras karena berbicara sendiri.

Abar menyerah. Biar sajalah rambut cewek ini menutupi wajahnya. Dia memandangi lorong gang yang tidak ada penduduknya. "Perasaan dari tadi gue jalan gak kelar-kelar ini gang." Kaki dan tangannya mulai terasa lelah karena membopong tubuh Gera.

Tiba-tiba indra pendengarannya menangkap sebuah suara aneh dari balik semak-semak di pinggirnya. Karena penasaran, Abar mendekati semak-semak itu.

"Maungggg."

"Rawrrrrr."

"Meooooooonggg."

Abar pun menyingkap semak-semak itu menggunakan salah satu kakinya. Sontak, dia terkejut bukan main ketika melihat kelakuan dua kucing berwarna oren. "Njirt, kucing oyen lagi kawin. Mata gue jadi ternoda lihat beginian. Heh, lo udah nikahin ceweknya belum? Main ngegas aja." Abar mengomeli salah satu kucing itu.

"Dan lo juga yang betina, jangan mau digituin kalau belum dinikahin."

Dua kucing itu yang semula tidak memperdulikan kehadiran sosok manusia, kini menoleh karena merasa terganggu. "MEOOOOOONGGG!" kedua kucing itu menatap Abar tajam dan mengeong keras.

"Iyaudah gak usah ngegas gitu, bjir. Ini gue mau pergi."

Abar hanya geleng-geleng kepala ketika kedua kucing berwarna oranye kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda. Kaki Abar pun kembali menyingkap agar kedua kucing tersebut terhalang kembali oleh semak-semak. "Gue 'kan manusia yang baik hati dan tidak sombong. Semoga hasil produknya imut lucu dan tidak nyebelin, ya!"

"MEEEOOOOOOOONGGG!"

•••

Jangan lupa tekan bintang di pojok kiri sebagai wujud apresiasi.

Follow akunku dan mrentymrn

See u next chapter♥

Aljabar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang