Perjodohan

21 9 3
                                    


"Itu anak kemana, sih? Dari kemarin nggak ketemu." Setelah pencarian kemarin, ia pulang dengan tangan kosong.

Nihil.

Carebella rasa-rasanya semakin sulit dikontrol olehnya. Semakin mandiri gadis itu akan menyulitkan fajar di kemudian hari.

Ia meremas ponselnya yang menampilkan foto dua gadis di depan sekolah.

Tidak di sini, tapi di Papua.

Ponselnya berdering.

"Lapor, Tuan. Kami tidak menemukan tanda-tanda Nona di mana pun."

Fajar merasa tertekan seketika. Adiknya ini jika sampai bertukar di luar pengawasan Fajar, bukannya tidak mungkin ia mati di tangannya sendiri.

Bunuh diri.

"Ya sudah. Biarkan saja untuk sementara. Jika ada kabar mengenai Carebella. Segera bawa kemari atau laporkan padaku."

Sambungan telepon ia matikan.

Jangan sampai gadis ini sebrutal dulu.

***

Malam ini, Genta banyak tersenyum membuat satu-satunya teman makan malam di rumah heran dengan tingkahnya.

"Sesuatu yang menyenangkan terjadi?"

Dipertanyakan sang ayah justru membuatnya kian lebar menaikkan sudut bibirnya.

"Hmm... bisa dibilang, ya. Tapi juga nggak begitu menyenangkan." Ia menjawab ambigu membuat sang kepala keluarga mendengkus kesal.

"Ya sudah. Ayah tidak akan 'kepo' denganmu," kelakarnya kemudian.

Selama acara makan berlangsung, hening tercipta.

Bungkamnya sang anak membuatnya cukup penasaran sehingga memeriksa kamera pengawas di halaman depan hingga ke dalam kediamannya.

Ia senang anaknya sumringah atas kedatangan gadis itu. Tapi, ia menghela napas ketika tahu harus memupuskan harapan sang anak atas gadis yang baru saja datang ke rumah.

Laptop ia matikan. sekarang ia menuju kamar Genta yang untungnya belum tertidur.

Tangan pria beranak satu itu mengetuk pintu.

"Masuklah, Yah."

Daun pintu terbuka dengan Genta yang masih berganti pakaian.

Inilah anaknya. Kerupawanannya menurun bahkan hingga bentuk tubuh yang sempurna.

Ia berharap sesuatu yang lain dari dirinya juga tidak menurun selain hanya fisik.

"Ada apa?" Kini keduanya berada di sofa kamar Genta. Mengobrol layaknya keluarga.

"Besok, sempatkan waktumu untuk makan malam bersama Ayah. Kita makan di luar bersama," ajaknya yang tentu saja Genta enggan tolak.

Jarang-jarang mereka bercengkerama cukup lama selain saat pagi hari dan malam sepulang kerja di rumah. Keduanya sibuk. Meski begitu, Genta bersyukur ia memiliki ayah yang perhatian.

Tidak merasakan ada hal yang aneh, keesokkan harinya sebelum jam makan malam tiba, ia sudah menyempatkan diri untuk datang.

Sang ayah sudah di sana, tinggal menunggu Genta.

Dengan senyum mengembang, rambutnya ia rapikan.

"Oke. Sudah tampan."

Dengan langkah bersemangat Genta keluar dari rumahnya dan mengemudikan mobil menuju salah satu restoran ternama di daerah tersebut.

My AgresionWhere stories live. Discover now