"Tinggalin gue, Ham. Lagi pengin sendiri...."

"Ya udah, gak apa-apa. Tapi lo jangan macem-macem di dalem sana. Jangan putus asa, masih banyak orang yang sayang dan peduli sama lo," ucap Aham dari depan pintu.

"Makasih, Ham. Tolong kasih makan burung gue ya."

"Santuy, Bar."

Setelah kejadian semalam, Gera mengubah mimik wajahnya senormal mungkin. Untung saja Abar dan Pytha tidak mendengar pertengkaran hebat antara dia dengan bunda mertuanya. Saat Gera kembali ke kamar, Abar sudah kembali tidur. Gera segera membangunkan suaminya serta Pytha dan mengatakan bahwa dia melihat sang bunda jatuh dari tangga. Menurut Gera, posisinya tidak bersalah. Dia sama sekali tidak berniat untuk membunuh. Bahkan sebelum berdebat, sang bunda sudah menyakiti dirinya sendiri.

Tepat pukul 01.00, ambulans datang, suara sirinenya memecah kesunyian malam. Abar menemani sang bunda di dalam ambulans. Gera dan Pytha menyusul menggunakan Jamet milik Abar.

Akan tetapi, semuanya sudah terlambat. Tamara kehilangan banyak darah. Pukul 01.45 dokter menyatakan bahwa sang bunda sudah meninggal dunia.

"Kenapa, bunda tinggalin Abar?"

"Padahal keinginan Abar untuk membahagiakan bunda belum terwujud."

Abar menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Dia menyembunyikan wajahnya menggunakan bantal agar isak tangisnya tidak terdengar oleh siapapun. Baju koko serba putih yang sedikit lusuh serta sarung berwarna hitam masih melekat di tubuhnya.

"Setiap hari, Abar selalu minta sama Allah biar nyawa Abar diambil dulu sebelum nyawa bunda, tapi kenapa Allah nggak ngabulin doa Abar?"

Perhatian Abar beralih pada Hp miliknya yang berdering di dekat nakas. Abar mengambilnya dan mendapati sebuah pesan whatsapp :

Afiza
Yang baik menurutmu, belum tentu baik menurut Allah. Semua yang terjadi  atas kehendak Allah dan itu pasti yang terbaik.
Allah maha tahu, Bar. Perbanyak istighfar, ngaji, salat, biar hatinya tenang.

•••

"Bawa gue pergi dari sini, Gan!"

"Ternyata suami gue anak dari perempuan yang udah nyebabin mama meninggal."

"Gue mau pergi sejauh-jauhnya dari Abar."

Logan membelai rambut panjang Gera yang terjuntai indah. Dress selutut yang dikenakan Gera basah karena terkena hujan. Tadi dia sedang rebahan di kamar sambil menonton drama Thailand, tiba-tiba pintu kamarnya didobrak. Awalnya Logan panik karena mengira itu adalah sang mama yang bersiap mementungnya dengan tongkat kasti karena mamanya paling sensi jika melihat Logan bermain HP.

Gera sengaja datang kemari tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Abar. Dia bahkan tidak mau menghadiri pemakaman bunda mertuanya. Gera tidak peduli lagi dengan perintah Abar yang mewajibkannya menutup aurat.

"Ger, maksud lo gimana? Sekarang tenangin diri  dulu, oke?" Logan mengurai pelukannya, dia menatap wajah Gera yang basah serta mata yang sembap akibat menangis.

Logan menatap wajah gadis di hadapannya ini. Masih sama seperti dulu. Bulu matanya yang lentik, bola mata terlihat menawan, kulit putih bersih, bibir yang lucu dan akan terlihat sangat manis jika tersenyum, serta rambut panjangnya yang hitam legam. Ada yang berbeda dari Gera kali ini. Rambutnya terurai. Padahal dahulu saat Logan menyuruh agar Gera melepaskan kepangannya, dia selalu dimarahi.

"Sebenarnya ada apa, heum?" Tangan Logan menghapus air mata yang mengalir dari pelupuk mata Gera dan mencubit pelan pipi Gera. "Lo udah kenal gue dari lama, pasti lo tahu kalau gue nggak suka lihat Gera yang manis ini nangis. Nanti cantiknya hilang. Sekarang, ceritain apa yang ngebuat sahabat gue yang cantik ini sedih," ucap Logan lembut.

Cerita demi cerita mengalir dari bibir Gera. Logan menggenggam tangan Gera ketika sahabatnya akan kembali menangis. "Lanjutin. Sesakit apapun, lo nggak boleh berhenti cerita."

Logan semakin terkejut ketika cerita Gera mulai memasuki bab tentang Tamara. Sepercik emosi mulai timbul, perlahan membakar emosinya. Jari-jemari tangan Logan menyatu membentuk kepalan. Dia sudah mengerti akan kesedihan Gera yang kehilangan mamanya sejak menjadi sahabat Gera di kelas X. Dahulu Gera adalah sosok yang pendiam. Tidak mau bicara di kelas. Tiba-tiba menangis. Hingga akhirnya Logan dan Sharela berhasil membuat Gera kembali tersenyum.

Gera sudah selesai bercerita. Netranya beralih pada Logan dan mengunci mata lawannya. Lebih tepatnya, Logan yang terkunci. "Gan...."

Logan yang semula akan mengeluarkan kata-kata penyemangat, seketika merasa blank karena ditatap oleh Gera. "Hem?"

"Lo beneran suka sama gue?"

Pertanyaan yang lolos dari bibir Gera membuat Logan kehilangan kata-kata. Padahal di buku diary-nya tertulis berlembar-lembar puisi, sajak, serta ungkapan perasaanya kepada Gera. "Gue nggak bisa jawab, Ra."

Logan mengambil buku diary yang ia letakkan di meja belajarnya dan menyerahkannya pada Gera.  "Tapi kalau lo mau tahu isi hati penulis yang jatuh cinta, baca saja apa yang dituliskan olehnya. Biarkan paragraf yang memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan."

•••

Lunas ya, aku sudah double up.

Sejauh ini, adakah saran/kritik untuk cerita ini?

Terima kasih banyak yang sudah baca cerita ini. Semoga sehat selalu.

See you next chapter >3

mrentymrn

Aljabar Место, где живут истории. Откройте их для себя