34

169 74 441
                                    

Setelah sudah keluar dari ruang guru itu, mereka bertiga langsung menutup pintu rapat lalu menjauh dari tempat itu segera.

"Kita ke belakang sekolah," ucap Raka yang mau tak mau dituruti oleh Keana dan Ribra.

Setelah sampai, mereka bertiga mengatur deru napas masing-masing. Di dekat pintu belakang sekolah terdapat dua bangku panjang. Raka duduk di bangku yang sama dengan Keana, sedangkan Ribra duduk di bangku yang berbeda.

"Jelasin," ujar Raka dingin pada Ribra.

"Apa yang lo lakuin di sana." Ribra berucap tanpa membalas ucapan Raka tadi. Matanya menatap mata Raka tajam lalu beralih ke Keana yang langsung memalingkan pandangannya.

"Jawab pertanyaan gue dulu. Lo siapa dan apa yang lo bicarain sama pak Darwin tadi."

"Gue lebih dulu nanya waktu di ruang guru. Jadi, jawab gue dulu."

"Ck, batu banget sih, lo."

Keana yang melihat pertengkaran itu langsung menghela napas jengah. Tak ada yang mau mengalah.

"Udah, udah. Mending gini, Raka, lo duluan jawab pertanyaannya Ribra, terus nanti Ribra, lo jawab pertanyaan Raka," usul Keana.

"Wait, what? Lo kenal sama dia? Siapa tadi namanya? Ibra? Zebra? Bra?" ujar Raka nyeleneh.

Keana langsung melotot horor ke arah Raka. Lain dengan Ribra yang menatap Raka tajam seperti ingin memusnahkannya sekarang juga. Jika keadaannya saat ini tidak seperti ini, maka mungkin ia sudah memusnahkan Raka.

"Nama dia tuh Ribra. Dia kakak kelas tau," jelas Keana sedikit berbisik pada Raka.

"Ribra? Apaan tuh. Aneh banget punya nama. Terus apa tadi? Kakak kelas? Yang bener aja, kok gue nggak pernah lihat dia." Raka tersenyum miring lalu memandang Ribra remeh.

Keana menghela napas pasrah melihat Raka. Ia baru ingat, Raka ini adalah biang kerok di sekolahnya. Meskipun beberapa hari ini Raka sudah tidak banyak berulah lagi seperti dulu.

"Udah, panjang kalau dijelasinnya. Sekarang lo jawab pertanyaannya Ribra tadi. Eh bentar, luka Ribra harus diobati dulu." Keana baru sadar dengan luka yang ada di sekitar wajah Ribra. Bajunya pun juga tampak acak-acakan.

"Nggak usah."

"Tapi kan—"

"Jawab pertanyaan gue cepat." Keana yang mendengar itu langsung diam. Keputusan Ribra tak bisa diganggu gugat.

Raka menaikkan salah satu sudut bibirnya melihat interaksi dua orang di hadapannya.

"Ka, jawab." Keana menyikut pelan lengan Raka.

Raka menghela napas kesal. "Gue mau cari tahu sesuatu di sana."

"Cari apa?"

Raka menaikkan salah satu alisnya. "Ini urusan gue. Lo nggak usah kepo."

Ribra menatap Raka sedikit tajam lalu beralih ke arah Keana. "Dan lo?"

"Ya ... seperti yang lo tahu, gue cuma penasaran sama rencananya pak Darwin. Udah gitu aja kok," balas Keana agak canggung.

"Ada hal lain yang lo sembunyiin," desis Ribra tajam membuat Keana mengerjapkan matanya cepat.

Raka bingung. "Ini maksudnya apaan? Pak Darwin? Dia punya rencana apaan?"

"Ini urusan gue. Lo nggak usah kepo," balas Ribra lalu sedikit tersenyum miring karena merasa puas membalas Raka.

Lain dengan Keana yang tersenyum canggung. Keadaannya malah makin memanas.

Keana's Life GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang