(32) Tentang Sharela

50 8 0
                                    

•••
"Alasan orang gagal move on, salah satunya karena punya hobi suka mencari penyakit dengan membaca pesan-pesan yang sudah usai."

•••

"Bar, yok ke masjid," ajak Bryan. Di sampingnya terdapat Urban yang sedang sibuk mencari sesuatu di tasnya. Wajahnya ditekuk kesal.

"Mampus, sendal gue."

"Kenapa lo? Sendalnya berkembang biak jadi empat?" tanya Abar. Dia masih membetulkan sajadah yang disampirkan di bahu, kemudian menata rambutnya dan ditutup dengan peci.

"Hiksrot. Kalau sendal bisa berkembang biak, gak usah repot-repot nyari sendal. Ilang satu, suruh aja mereka bikin baru lagi," keluh Urban. Dia mendesah pelan. Takut jika terlambat ke masjid.

Tatapannya beralih pada Gera yang masih duduk anteng di tempatnya. Mata dia berbinar. Urban menghampiri Gera yang tertunduk diam. "Lagi halangan ya?"

Gera mendongak. Menatap cowok di depannya, kemudian menoleh pada Abar. Dan memberi isyarat pada suaminya, Boleh nggak ngomong sama dia?

Abar menganggukkan kepalanya kecil. Boleh.

"Hiksrot, gue nanya sama elo. Kok malah noleh ke temen gue sih? Naksir?" Urban gregetan karena cewek ini justru tatap-tatapan sama Abar. "Kalau beneran lagi halangan mau pinjem sendalnya."

Gera mengeluarkan sandal yang sudah dipersiapkan oleh Abar dari tas ranselnya kemudian menyerahkannya pada cowok itu. "Ambil terus pergi dari hadapan gue," usir Gera.

Abar tertawa terbahak-bahak. Dia menepuk bahu Urban dan membawanya keluar dari kelas—menyusul Bryan. "Sejelek itukah wajahmu, hiksrot?" tantanya pada Urban.

Urban menekuk wajahnya kesal. Dia berjalan lebih dulu meninggalkan kedua temannya.

"Tutup pintunya, Bar. Kan lo yang keluar terakhir." Bryan menunjuk daun pintu kelas yang masih terbuka. Abar mengangguk patuh.

Gera duduk melamun sambil menahan rasa sakit yang menjalar di perutnya akibat haid hari pertama. Tangannya juga masih memegang pulpen, dia hampir menyelesaikan hukuman yang diberi oleh Sir Charge. Akan tetapi, perhatiannya teralihkan pada sosok yang berdiri di ambang pintu.

Abar berdiri di sana. Terlihat semakin tampan dan mempesona. Bagi Gera, cowok yang berbaju serba hitam akan kalah dengan cowok yang mengenakan sarung, peci, serta sajadah.

Gera melihat Abar yang menyentuh dadanya sendiri kemudian meletakkan jarinya di kedua ujung bibir. Abar memberi isyarat untuk selalu sabar dan tersenyum.

Kemudian pintu kelas tertutup. Menyisakkan Gera yang sedang menahan dirinya untuk tidak berteriak.

Tanpa mereka sadari, seseorang menyaksikan semua itu. Raut wajahnya datar, tetapi penuh amarah. "Jadi itu suaminya? Bagus juga si tua itu memindahkan keduanya agar satu sekolah denganku."

Aljabar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang