Plak

Sebuah tamparan keras mendarat tepat di pipi kanan Gera. Gadis yang mengenakan gamis berwarna abu-abu itu tidak menjawab, tidak juga menangis. Air matanya sudah kering. Matanya pun bengkak karena menangis sejak pulang dari sekolah.

Lupakan tentang harapan mendapatkan teman.

Karena seluruh murid Al-Islamiyah kini mengecap dirinya sebagai perempuan yang harus dihindari.

Khawariz sengaja menyuruh Abar untuk datang ke rumahnya setelah pulang sekolah. Tadi reaksi Abar pun membuat Gera enggan menceritakan kejadian sebenarnya, suaminya itu mendiamkannya.

"TEGA KAMU SAMA PAPA?!" bentak Khawariz tepat di hadapan wajah putrinya. Dia sudah menunggu kehadiran putrinya di ambang pintu sejak tadi.

Abar merasa tidak tega pada istrinya. Dia yang awalnya menjaga jarak dengan Gera, kini mendekat dan mengenggam tangan istrinya. "Pa—"

"Abar, Papa nggak habis pikir sama kelakuan anak ini." Khawariz mengusap wajahnya, berusaha menetralkan emosi. "Papa jadi malu sama kamu, Nak. Harusnya kamu nggak punya istri semacam ini. Maaf karena kesalahpahaman itu, Papa jadi maksa kamu buat nikahin anak nggak tahu diri ini."

Pria paruh baya itu menangis. Dia menyatukan kedua tangannya, kemudian hendak berlutut di hadapan Abar. "Papa, apa yang papa lakuin?" Abar mencegah Khawariz.

"Papa, jangan minta maaf sama Abar. Harusnya Abar yang minta maaf karena belum bisa mendidik istri Abar dengan baik."

Ya Tuhan! Gimana caranya ceritain ke semuanya, kalau gue nggak berbuat begitu. batin Gera, dadanya terasa sangat sesak. Seolah pasokan oksigen di muka bumi ini lenyap entah ke mana.

•••
"Sekarang lo bisa turun," ucap Abar dingin, nadanya seperti mengusir. Dia tidak menatap Gera yang duduk di kursi belakang. Jamet miliknya terparkir di depan gerbang, bukan di dalam. Menandakan cowok itu tidak akan pulang sekarang.

Gera yang sedari tadi menunduk—untuk berusaha menutupi tangisnya, kini bertanya dengan suara serak, "Kamu mau ke mana?"

"Stop bilang pakai aku-kamu. Gue nggak suka."

Gera begitu ingin merengkuh tubuh cowok itu. Dia ingin berteriak sekencang-kencangnya tentang kebenaran yang terjadi. Akan tetapi, nyalinya kecil. Sedari tadi hatinya sakit, karena harus menangis tanpa mengeluarkan suara. Sesak. Trauma. Semua itu menyelimuti dirinya.

"Telinganya masih berfungsi nggak?" sindir Abar. Nadanya memang tidak membentak, tetapi sangat menusuk.

Gera menghapus air matanya, dia berusaha menarik kedua ujung bibirnya yang berkedut. Gera mendekatkan tubuhnya ke jok depan, dia berusaha meraih lengan suaminya. "Pulang, jangan ke mana-mana. Nanti aku jelasin. Kamu belum tahu semua kebenarannya. Percaya sama aku," ucap Gera, nada bicaranya bergetar. Nyaris kembali menangis.

Abar segera menepis tangan Gera dari lengannya. "Besok gue anter lo ke dokter THT. Kayaknya telinga lo rusak."

"Lo masih punya otak yang bisa buat mikir sama nginget-nginget kalau udah punya suami 'kan?"

"Mau gue perjelas lagi? NAMA SUAMI LO ITU ALJABAR. A-L-J-A-B-A-R!" bentak Abar sambil mengeja namanya sendiri.

"Atau sebenarnya lo yang nggak punya malu?"

"Awalnya sahabat lo, si Logan. Terus sekarang cowok itu. Mau jadi murahan, hah? Nemplok sana, nemplok sini."

"Gue udah ngehargain lo. Gue jaga lo seutuhnya biar masa depan lo itu cerah. Meskipun sebenarnya gue punya hak sebagai suami, tapi lebih baik menunda. Karena apa? Gue pengin lo berpendidikan tinggi dan fokus sekolah!"

Abar memejamkan matanya sebentar, kemudian menatap Gera nyalang. "TAPI KELAKUAN LO ITU KAYAK CEWEK NGGAK BENER, TAHU GAK?!" bentak Abar, membuat Gera menunduk dalam karena takut.

Meskipun rasanya teramat menyakitkan layaknya ditusuk ribuan jarum. Gera tidak menyerah. Dia menggigit bibirnya sebentar agar isakan tidak lolos. Saat air matanya akan kembali tumpah, dia mendongak sebentar sambil berharap, "Air mata, tolong kamu jangan netes dulu ya? Biar aku bisa jelasin semuanya di depan suami aku. Tolong."

Gera kembali mendekati Abar. Tangannya menangkup wajah Abar dan menolehkannya paksa. Jantungnya berdegup kencang ketika menatap manik mata Abar. Gera bisa melihat rasa sakit, emosi, serta kecewa ada di netra indah itu. Laki-laki ini sangatlah baik. Seharusnya dia tidak melakukan hal-hal yang membuat Abar kecewa.

"Aku... minta maaf," cicit Gera. "Tolong, tunjukkin senyuman kamu lagi. Aku kangen."

"Kamu boleh marah."

Gera meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibir Abar. "Bentak aja aku nggak apa-apa. Keluarin semua emosi kamu."

Kemudian Gera memindahkan tangan Abar dan meletakkannya di pipinya. "Kalau perlu, pukul aja aku sampai fisikku sakit. Tampar muka aku. Tampar biar dosa cewek murahan ini pada rontok semua."

"Kamu boleh bikin aku nangis terus-terusan."

Gera menghentikan kalimatnya. Dia menggigit bibir. Oksigen di sekitarnya tidak bisa diajak berkompromi. Mereka seolah pergi dari sekelilingnya hingga membuat Gera merasa sesak.

Abar yang ditatap seperti itu hanya terdiam membisu. Jika ditanya apakah dia kecewa? Benar, sangat kecewa. Dia tidak ingin semua yang ada pada diri Gera dilihat oleh orang lain.

Wajar 'kan jika begitu?

Abar hanya ingin Gera menjadi miliknya.

Meskipun hatinya belum sadar, apakah dia sudah mencintai Gera... secepat itu?

"Kamu boleh melakukan semua itu."

"Tapi...."

"Kamu nggak boleh nggak senyum."

"Dan nggak boleh pergi dari aku."

Setelah mengatakan itu, entah dorongan dari mana, Gera memajukan wajahnya mendekati Abar. Di luar mobil, petir datang menyambar kemudian disusul hujan deras yang akan membuat jantung manusia berpacu lebih cepat karena merasa kaget. Akan tetapi, tidak dengan Gera dan Abar.

Seolah mobil ini memiliki peredam suara. Suara petir itu tidak didengar—lebih tepatnya tidak dipedulikan oleh mereka berdua. Jantung mereka memang bekerja tidak seperti biasanya, tapi bukan karena suara petir. Melainkan ketika keduanya merasakan kenikmatan yang membuat pahala mengalir di keduanya. Hujan seolah menjadi saksi bisu. Kupu-kupu sibuk menari-nari di sekat diafragma Abar dan Gera dengan kompak.

Gera menyudahi tindakannya yang mencium bibir Abar. Dia segera menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. "Jangan pergi ya?" tanya Gera, dia masih berusaha mencari oksigen.

Sebagai jawabannya, Abar kembali mendekatkan wajahnya dan mencium kening Gera hingga membuat wajah gadis itu terasa sangat panas seperti ada yang membakarnya. "Jangan diulangi atau gue benar-benar akan pergi."

"Lo harus jaga kepercayaan gue."

•••
Part buat besok aku up sekarang sekalian aja ya. Soalnya besok aku mau ngetik cerita lain.

Ko aku jadi ikut-ikutan sesek napas ye, aowkaowkaowkwk /ketawa psikopat.

Ada yang mau disampaikan sama part ini?

Ada yang nangis nggak ya?

Ada yang teriak?

Kayaknya nggak ada :(

Jangan lupa voment yapp!

mrentymrn

See u next chapter♥

Aljabar Where stories live. Discover now