Menurut Urban, mata pelajaran Bahasa Arab lebih pusing daripada berbau angka.

•••

"Susah banget woi. Mental gue tadi belum siap. Gue mau nangis. Hiksrot." Mata Urban berkaca-kaca, menatap punggung Pak Tagram yang hilang dari balik pintu.

"Apalagi gue. Masih newbie. Serius, gue nggak ngerti apa-apa," ucap Abar, dia juga sedih melihat kertas berisi sepuluh nomer yang bahasanya Arab semua.

"Kenapa dulu nyokap gue nggak lahiran di Arab aja, hiskrot."

"Santuy, kalau nilai jeblok ya remidi," ucap Bryan, cowok yang duduknya di depan meja Urban. "Lagian remidi itu asyik. Mempererat hubungan antar teman. Coba kalau misalnya dapet nilai tinggi sedangkan teman-teman lainnya jeblok. Nggak seru. Nggak ada sensasinya."

"Iya-iya bener juga." Abar tertawa pelan, menepuk bahu Bryan.

"Assalamualaikum. Cek, cek sound."

"Mau ada apa tuh? Bagi-bagi sembako?" tanya Abar kepada Urban dan Bryan dengan wajah polos.

"Ayoo, teman-teman, segera menuju Masjid Syuhada untuk menunaikan Salat Duha. Jangan menunggu dikoprak-koprak. Jangan ngobrol-ngobrol dulu. Ayo buruan, jangan duduk-duduk di depan kelas."

Suara dari speaker yang tergantung di tembok kelas membuat suasana kelas 10 MIPA-D menjadi ricuh. Anak-anak perempuan langsung bergerombol di pojok ruangan untuk mengambil mukenah. "Minggir, mau ambil mukenah gue."

"Eh-eh, antre dong. Jangan main serobot aja."

"Siti! Tungguin gue."

"Buruan, keburu tempat wudunya rame."

"Pakai sendalnya di luar kelas! Jangan di dalem. Nanti kotor. Udah capek piket!"

"ADA YANG LAGI HALANGAN NGGAK? PINJEM SENDAL DONG!"

"SENDAL IJO GUE KE MANAAA?"

"WOY, TUTI! PINJEM SENDAL YA!"

"Eh, cepetan dong! Mau dapet saf paling depan biar bisa nyawang Mas Crush!"

"Iya cepetan, kalau lama gue tinggalin."

"Jahat lo."

"Daripada gue ketinggalan liat muka dia yang habis kena air wudu."

Abar memandang suasana di sekitarnya bingung. Kemudian bahunya ditepuk oleh Bryan. "Pasti di sekolah negri nggak ada suasana gini 'kan?"

Abar mengangguk membenarkan.

"Heh, hiksrot. Lo bawa peci, sarung, sajadah, buku doa, sama sendal?" Urban bertanya. Cowok ini sudah lengkap memakai sarung dan peci. Sajadah kecil disampirkan di bahu kanannya.

Abar melongo. "Buat apa?"

"Itu barang fardhu ain yang harus dibawa setiap jam waktu salat," jawab Bryan, cowok itu masih sibuk memakai sarungnya.

"WOY, BURUAN! SEKBID KEAGAMAAN OSIS UDAH MULAI KELILING-KELILING!"

Wajah Urban berubah panik. Ditambah lagi Bryan yang memakai sarungnya lambat bagai siput. "Cepetan, keburu tukang-tukang keliling itu dateng. Gue kapok, nggak mau kena sabet lagi sama Pak Tagram kayak dulu pas nyolong sendalnya si Tuti, hiksrot."

"Sebentar." Bryan sudah selesai memakai sarung, dia menaruh peci berwarna hitam di kepalanya.

"Terus gue gimana?" tanya Abar.

Namun, ketiganya sudah terlambat. Salah seorang remaja perempuan yang menggunakan jas berwarna biru navy serta tatapan tajam berdiri di ambang pintu. Di tangannya terdapat tongkat kecil terbuat dari plastik yang  digunakan sebagai senjatanya.

"Kak Afiza Zahwa, em gini, jangan sabet kami pake tongkat—"

"Oh, jadi mau langsung ke Pak Tagram? Boleh deh," potong Afiza cepat.

"Tentunya nggak mau, Kak. Ini ada murid baru namanya Aljabar Linear Baritma. Dia baru sekolah di sini. Jadi tadi kita jelasin dulu tentang kegiatan-kegiatan di sek—"

Saat Afiza melayangkan tatapannya ke arah Abar. Dia sangat terkejut. "Loh, Abar? Kamu di sini?"

"Ukhty Afiza?"

•••

"Kak Afi itu eyang putri lo?" tanya Bryan.

"Hah?"

"Tadi lo manggilnya uti, uti gitu 'kan."

Abar menepuk dahinya. "Bukan gitu konsepnya, guoblog. Gue kenal dia di sosmed. Admin komunitas Calon Hafidz-Hafidzah Hebat."

Jam Salat Duha sudah usai. Berganti dengan waktu istirahat. Murid-murid berseru senang sambil berjalan dari masjid menuju kelas masing-masing. Tak lupa juga ada beberapa siswa laki-laki yang berkerumun di pinggir, memandangi siswi yang masih dibalut mukena. Di dalam hati mereka terus berucap, "Ma Sya Allah." Sampai mereka berlalu.

Abar tidak dihukum karena dia adalah murid baru. Wajar jika Abar belum mengetahui tentang peraturan-peraturan di sekolah ini.

"Astaghfirullahaladzim, kamu ini berdosah banget. Ndak boleh entokesis. Kalau ketahuan sekbid keagamaan sama Pak Tagram, tamatlah hidupmu, anakku," timpal Urban.

"Mamanya mana?"

"Mama siapa?"

"Papa tadi bilang kalau aku ini anakmu. Terus di mana mamaku?" tanya Abar.

"Papa nggak tahu, nak, belum pernah lihat wajahnya. Yang jelas tertulis di Lauful Mahfuz," jawab Urban.

"Lah terus aku ini anak siapa?"

"Anak pungut."

"Najis mugholadoh," cibir Bryan pada Urban dan Abar.

Perhatian ketiga remaja ini beralih pada sebuah kerumunan yang tercipta di aula.

"Ada ape tuh, man? Penggeprekan Hp lagi?"

"Hp digeprek? Terus dikasih sambel? Emangnya bisa dimakan?" tanya Abar dengan polosnya.

Rasa-rasanya, Bryan dan Urban sudah lelah menghadapi teman barunya ini. "Capek ya?" tanya Urban pada Bryan.

"Sama kok, aku juga," jawab Bryan.

Abar tertawa renyah. Akan tetapi, tawa itu redam ketika langkahnya berhenti tepat di dekat murid-murid yang mengerumuni aula.

Dadanya seolah terhimpit yang menyebabkan oksigen tidak terhirup sempurna. Kedua tangannya mengepal di saku celananya. Rasa-rasanya ia tidak percaya jika Gera—istrinya melakukan hal buruk semacam ini.

"Gera...."

•••

HIKS, PLIS, AKU KANGEN SAMA SUASANA SEKOLAHKU YANG BEGITU😭 -Maul

OKEDEH, SEGINI DULU YAA.

JANGAN LUPA VOMENT!

SEE U NEXT CHAPTER

mrentymrn

Aljabar Where stories live. Discover now