(28) Satu Sekolah

Start from the beginning
                                    

Abar tidak menjawab, tatapannya fokus ke depan.

"Jangan diem aja, dong."

"Abar, ayo ngomong sesuatu," rengek Gera.

"Kamu kalau kayak gini nyeremin kayak pocong yang punya tangan sama kaki," Gera berusaha melucu.

"Lebih suka kalau kamu senyum."

"Sifat dingin sama cuek gak berjodoh di wajah kamu."

"Abar...," rengek Gera, nada bicaranya seperti anak kecil yang memaksa ingin meminta permen. Bibirnya mencucu. Sebenarnya Abar merasa sangat gemas, dia ingin sekali menarik ujung bibirnya untuk tersenyum manis, tetapi dia tahan.

Jika kalian tahu, sebenarnya batin Abar sedang berperang.

"Nahan nggak senyum kayak nahan ngentut, susah banget," batin Abar.

"Tapi gemesin banget, Ya Allah. Pengin cubit sama cium pipinya. Kan sudah keep halal. Lucu kali ya kalau gue punya anak terus mirip ibunya," ucap sisi lain hati Abar.

"Eh, Abar, tahan. Lo belum lulus sekolah. Kenapa sih pikiran lo jadi gini?"

Gera mengangkat tangan Abar mendekati wajahnya, kemudian Abar bisa merasakan bibir kenyal Gera menyentuh punggung tangannya. "Jangan marah lagi ya?" ucap Gera lembut.

"Ya Allah, cobaan apa lagi ini. Bibirnya selembut kain sutra."

"Nggak, pokoknya gue gak boleh senyum sampai dia minta maaf!" Padahal bibir Abar sudah berkedut-kedut.

Abar menepis tangan Gera dengan kasar hingga cewek itu terdorong beberapa langkah. "Jangan pegang-pegang. Nanti banyak yang salah paham."

"Lebih baik sekarang kita jadi orang yang nggak saling kenal."

"Kalau ngomong pake gue-lo aja, jangan aku-kamu. Lebay." Kemudian Abar berjalan mendahului Gera.

Percayalah, setelah mengatakan itu perang batin kembali terjadi.

"Gue kasar nggak ya ke dia?"

"Ah, gapapa. Biar Gera sadar."

"Noleh gak ya?"

"Jangan! Terus jalan. Biarin istri gue instrospeksi diri!"

Perkataan Abar yang sedikit kasar, membuat Gera terkejut hingga tanpa sadar Gera menginjak rok abu-abunya sendiri. Gera kehilangan keseimbangan, kemudian jatuh tengkurap di lantai. Roknya tersingkap, hingga menampilkan kaki jenjang Gera yang putih nan mulus seperti bihun.

Gera meringis ketika wajahnya menyentuh lantai, untung saja lantai ini bersih. Akan tetapi, perkataan Abar menyakiti hatinya. Bahkan suaminya itu tidak menoleh sama sekali. "Abar jahat."

"Lo gak apa-apa?"

Gera mendongak, melihat sosok cowok dengan jersey berwarna silver, di sebelah dada kiri terdapat tulisan SMA Al-Islamiyah. Bola matanya berwarna kebiruan, terlihat menawan. Rambutnya basah, mungkin keringat, juga diselingi warna cokelat tua—entah itu memang asli atau warna semir.  Tangan kiri cowok tersebut memegangi bola basket. Sedangkan tangan kanannya diulurkan kepada Gera.

"Nama gue Hiper. Tenang aja, gue baik dan sehat kok. Sini tangan lo."

"O-okey." Gera meraih tangan cowok itu dan berdiri kokoh seperti semula.

"Anak baru ya?"

"Iya," jawab Gera, saat dia akan melepaskan tangannya, justru semakin mengeratkannya.

"Mau ke ruang kepsek? Gue anter gimana?" tawar Hiper.

Gera sebenarnya ingin menolak, tapi Abar sudah berjalan mendahuluinya dan ia tidak tahu di mana ruang kepsek berada. "Bo-boleh, tapi tangan gue—"

"Buruan. Nanti keburu telat, loh. Ini aja udah mulai tadarus." Tangan Gera ditarik oleh cowok itu.

Gera menurut. Bola matanya terus bergerak-gerak mengamati lingkungan sekolahnya yang baru. Entahlah, apa dia bisa mendapatkan teman baik di sini atau tidak.

"Sembunyi!" Hiper menarik Gera ke dalam sebuah ruangan berisi barang-barang tidak terpakai yang dilapisi debu. Ruangan ini sempit, tidak seperti kelas pada umumnya. Tak lupa Hiper juga menutup sekaligus mengunci pintu, membuat Gera mengernyit heran.

"Kenapa?"

Gera merasa risih ketika Hiper merapatkan badannya hingga tidak ada lagi jarak antara dia dan cowok ini. "Biar gak ketahuan sama Pak Tagram. Dia serem. Sukanya keliling-keliling sekolah. Senjatanya itu sendal jepit atau sajadah tebel, buat nyabetin anak-anak bandel."

"Kenapa takut? Emangnya lo bolos?"

Pertanyaan Gera membuat cowok ini gelagapan. Benaknya kini sedang mencari-cari jawaban yang tepat.

"Jauhan dikit, gue gak suka deket-deket," ucap Gera.

"Kayaknya kelamaan," ucap Hiper, senyum nakal terbit di bibirnya. Membuat Gera begidik ngeri.

"Itu rambut lo kelihatan," tunjuk Hiper pada beberapa helai rambut Gera yang kelihatan di sela-sela pipi kanan. "Mungkin gara-gara lo jatuh. Mau gue benerin nggak?"

Gera bergeming sesaat. Ia memang belum terbiasa memakai kerudung, tadi pagi saja dipakaikan oleh Phyta. Gera baru saja mengenal cowok itu. Dirinya terbuka untuk berteman kepada siapa saja. Tapi ia masih ragu dengan Hiper, Gera harus berhati-hati, orang baik pun bisa berbuat jahat. Apalagi tempat ini, itu menambah kecemasan Gera. Terlebih, di ruangan ini hanya mereka berdua.

"Nggak perlu, gue bisa kok," balas Gera akhirnya menolak saja.

"Sorry, gue duluan. Makasih udah mau bantu." Gera memberikan senyum singkat, sebelum langkahnya meninggalkan ruangan itu. Gera berniat mencari toilet sekolah ini, dengan harapan di sana tersedia juga cermin. Sedangkan Hiper di sana berdiri mematung, tak berkedip, tak juga menjawab Gera. Sungguh, ia terpana dengan senyum manis itu.

Tanpa Gera tahu, Hiper mengikutinya.

•••

Ku jadi kangen suasana sekolah SMP😢

Happy 1K readers! Thank you yang udah baca cerita Aljabar♥♥

Satu kata untuk cerita ini?

Oke segini dulu ya. Jangan lupa voment.

See you next chapter!

mrentymrn





Aljabar Where stories live. Discover now