24. God

22.7K 4.2K 757
                                    

Gue jalan cepat naik ke lantai dua dengan wajah sembab dan penuh air mata. I'm planning to go. Gue terjebak. Selama ini gue cuma jadi salah satu pion di atas papan catur yang Yuta mainkan.

Jelas banget kalo itu Yuta. Gue ingat perkataan mama kemarin kalo Yuta lagi ngeburu dia. Gue udah berusaha berpositif thinking walaupun gue khawatir gak karuan. And, tadi malam Yuta gak ada di rumah, voila... pagi hari ini gue dapat surprise, kepala mama.

"Rui! Rui listen!" tahan Yuta, dia ngejar gue. Daritadi coba ngeraih tangan gue tapi gue abaikan.

Gue masuk ke dalam kamar, pengen langsung ngeberesin barang gue dan pergi. Gue gak peduli. Pikiran gue bener-bener udah gak ada sehatnya lagi. I fucking lost my mom. Untuk sekarang gue gak mau apa-apa selain kembalinya nyawa mama.

"Rui!" panggil Yuta, dia berdiri di dekat pintu kamar, kelihatan nyerah sama gue.

Gue langsung ngehambur meja rias dan ngebanting semuanya ke lantai, ngebuat apapun yang ada di atasnya pecah dan tercecer. Gue ngejambak rambut sendiri dan terisak.

"Please calm yourself..." aba-aba Yuta, coba nenangin gue.

Gue jalan mondar-mandir sambil ngeluarin air mata. "I'm so stupid..." rutuk gue buat diri sendiri. "This whole time... I was wrong... Why can't i see this!?" amuk gue.

Yuta neguk liurnya, dia natap gue nanar tapi ke dua alisnya berkerut.

"Kemarin sore saya ketemu sama mama, dia bilang kalo kamu lagi ngincar dia. Saya gak mau percaya, Nakamoto. Tapi semuanya jelas. Semalam kamu pergi dan paginya kepala mama di kirim ke sini. It's you!!!" tuduh gue.

"How... How can i explain it to you if you keep yelling at me?"

Gue natap dia penuh air mata dan menggeleng. "I am sad... I'm upset... And i'm in pain!" kesal gue.

"Kamu nuduh saya kayak kamu tahu semuanya, Rui. But in fact... you do not." ucap Yuta. "You're young, and fragile. I understand that. Kamu sangat mudah untuk didoktrin, people saying things and you believe that, with no hesitation. But deep down, Rui... Do you really think that was my doing?"

Gue cuma natap dia sambil nangis. Jujur, gue juga ragu. Gue gak percaya kalo itu memang perbuatan Yuta. Tapi gue terlalu dikuasai oleh amarah dan kesedihan, gue menyampingkan apa yang beneran ada di hati gue dan milih nelan mentah-mentah apa yang ada di pikiran gue.

Yuta ngambil nafas sebelum dia jalan mendekat ke arah gue dan berdiri di depan gue.

Matanya lurus ke mata gue. "Do you trust me?" tanyanya sekali lagi.

Gue gak langsung jawab, melainkan fokus ke matanya, nyari fakta yang mungkin bisa gue temuin di iris mata Yuta. "Explain." suruh gue.

"Jawab dulu pertanyaan saya." tolak Yuta. "Akan sangat gak berguna buat saya untuk ngejelasin panjang lebar kalo pada dasarnya kamu memang gak percaya sama saya."

Lagi-lagi gue terdiam sejenak, sebelum akhirnya tangis gue pecah lagi. Gue nunduk dan ngeremas robe yang Yuta pake.

Of course i trust him! Kalo gue gak percaya sama dia, gak mungkin gue ngebiarin Yuta nyeret gue ke nereka kalo gue tau dia gak menggenggam tangan gue. And as a consequence, I know there's no turning back.

But... It's just really sad, knowing that i've never understood where the line is drawn because i'm still young and plain.

"I trust you..." jawab gue, berhenti nunduk dan natap Yuta.

Yuta ngeraih sebelah tangan gue, ngelus punggung tangan gue pake jempolnya. Bibirnya sedikit ketarik, nyiptain senyuman samar, ngerasa lega sama jawaban gue.

Guns & Yuta ✓Where stories live. Discover now