Bab 11 - Lebaran Sebentar Lagi

945 91 2
                                    

Waktu seolah terbang. Tak terasa Ara sudah melewati ulang tahunnya yang ke tiga puluh enam. Berbeda dari tahun lalu, kali ini ia merasa biasa-biasa saja. Tidak ada baper yang berlebihan. Tidak ada air mata. Hanya ada rasa syukur karena ia sudah diberi kesempatan hidup hingga saat ini. Sepertinya rasa galau keperawantuaannya hanya berlaku hingga usia tiga puluh lima.

Memasuki akhir bulan Mei, keadaan kantor makin sibuk. Bukan hanya karena sudah menjelang triwulan tiga namun juga karena sebentar lagi mereka akan libur panjang.

Lebaran.

Berbeda dengan hari ulang tahunnya, Ara tak bisa santai menghadapi Lebaran. Bagi seorang perawan tua, Lebaran adalah event yang mengerikan. Rasa bahagia dan haru setelah berhasil menyelesaikan ibadah di bulan Ramadhan sama sekali tak berdaya menghadapi tekanan dari pertanyaan "kapan kawin, umurmu udah berapa?"; perjodohan dengan pria entah siapa yang kebanyakan tidak sesuai dengan selera pribadi namun harus diterima dengan penuh rasa terima kasih meski setelah itu Ara harus putar otak bagaimana memberi penolakan tanpa menyinggung; hingga ledekan terhadap statusnya baik lewat sindiran ataupun secara terang-terangan.

Hari pertama lebaran yang harus dihabiskan di rumah Nenek seperti ladang ranjau dimana Ara harus hati-hati melangkah. Dalam tradisi lebaran keluarga mereka, seluruh keluarga harus berkumpul selepas Salat Ied untuk mendengarkan petuah Nenek lalu dilanjutkan dengan sungkeman. Dalam penyampaian petuah tersebut, Nenek biasanya mengabsen kesalahan dan kekurangan cucu-cucunya selama tahun itu. Bagian Ara, tentu saja berkenaan dengan status single-nya.

"Mana ini Imam, jangan suka payah kalok disuruh salat, apalagi dibangunin Subuh. Rosa...jangan sering begadang sampe tengah malam. Taunya Nenek kalok kau itu sebetulnya cuma nonton film, bukan ngerjain tugas kuliah. Serius sikitlah kau nyari kerja, Dian. Istrimu udah ada, anak pun udah dua. Mau sampe kapan dibiayai orangtua terus? Nina jangan pacaran terus. Baru SMP udah mentel kali kau kurasa. Ara...sampe kapanlah Nenek nunggu kau kawin. Umurmu udah berapa..."

Ara selalu berusaha membuat dirinya setidak terlihat mungkin agar Nenek melewatkan petuah mengenai dirinya. Celakanya, hal itu tak pernah terjadi. Sebaliknya Ara-lah yang paling diingat Nenek. Kalau sudah begitu seluruh keluarga akan menertawainya dan Ara hanya mesem-mesem selagi para sepupu menggoda dirinya.

Mulut tetangga yang berbisa adalah ladang ranjau lainnya. Pernah, dua atau tiga tahun yang lalu, Ara dan Mamak yang sedang bersilaturahmi ke rumah salah satu tetangga Nenek tak sengaja bertemu dengan Bu Ina, salah satu penggosip akut bermental minus yang tak tersembuhkan lagi. Mamak berbasa-basi menanyakan rombongan keluarga yang datang bersama dengannya.

"Inilah, Kak, kalok yang ini anak-anakku (menunjuk dua laki-laki yang sedang duduk di sofa), yang ini menantuku (menunjuk wanita di sebelahnya), kalok yang ini (menunjuk tiga balita yang sedang bermain riang) cucu-cucuku. Kak Wati kalah, hahahaha."

Mungkin ia merasa cuma bercanda dan merasa kata-kata itu lucu. Namun yang pasti Ara dan Mamak menganggapnya sangat tidak lucu. Ara cuma terdiam saking tak tahu harus menjawab apa sementara Mamak cuma tersenyum enggan. Meski memilih tidak membicarakannya, Ara tahu pasti betapa terlukanya hati Mamak. Dan menyadari dirinyalah sumber luka itu membuat perasaan Ara sungguh tidak nyaman.

Sejak awal Ramadhan Ara sudah berusaha menyiapkan diri untuk menghadapi hal semacam itu. Perlahan-lahan ia merajut baju anti bom yang dipersiapkan untuk melewati ladang ranjau Lebaran yang sebentar lagi tiba. Namun ternyata yang Ara temukan malah sebaliknya.

Nenek seperti melupakan nama Ara dan tidak menyebut-nyebut masalah status single-nya. Bu Ina yang datang bersilaturahmi ke rumah Nenek pun tak kepikiran untuk membangga-banggakan cucu dan menantunya pada Mamak demi menyindir Ara. Selama libur lebaran tak pernah sekalipun Ara menerima pertanyaan "kapan kawin" dari saudara ataupun tetangga. Demikian pula perjodohan yang tak diharapkan dari para Om dan Tante sekarang sudah dialihkan pada para sepupu yang jauh lebih muda.

Ara senang karena tak perlu lagi melewati tradisi lebarannya yang tidak menyenangkan. Ia juga bersyukur karena tak perlu lagi menolak calon-calon jodoh yang dirasanya kurang klik. Akan tetapi entah kenapa Ara juga merasakan getir di dalam hatinya.

Sikap orang-orang itu menandakan bahwa era-nya telah berakhir. Tampaknya bukan hanya baper ulang tahun yang menghilang dari hidup Ara. Keyakinan bahwa ia akan menikah suatu saat nanti juga sudah sepenuhnya pupus dari benak orang-orang. Karena itu mereka merasa tak perlu repot-repot menyindir, bertanya, atau menyodorkan para calon untuk seseorang yang dianggap sudah tidak potensial lagi.

Ini adalah momen di mana Ara tidak tahu harus merasa senang atau sedih. 

The Spinster's World (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang