Kilas#2: Sudut Pandang Gerald

Start from the beginning
                                    

"Guys!"

Ketika Nelly angkat bicara, Gerald sudah merasa tak keruan. Apa pun yang diumumkan ratu gosip itu hampir bisa dipastikan ajakan untuk mengucilkan seseorang.

"Coba lihat di grup kelas, deh! Aku udah kirim SS sama link, kalian bisa cek sendiri!"

"Apaan?" seru seseorang.

"Baca aja deh. Seru!"

Tangan Gerald gemetar saat menuruti kata-kata itu. Ia mengerjap beberapa kali begitu melihat tautan yang dikirim. Sebuah blog. Ia membukanya dengan tangan gemetar. Kalau firasatnya kuat begini, Gerald tahu: ia membuka sebuah rahasia.

Bisik-bisik merebak setelah itu. Suasana kelas memanas. Pemilik blog itu baru saja keluar. Ke kantin, kalau tak salah. Satu-dua orang mulai menunjukkan kegusaran mereka. Ada yang keluar, mungkin ke kantin menyusul pemilik blog, mungkin hendak melabrak.

Ketika Gerald akhirnya memberanikan diri melihat layar ponselnya, tangannya tambah gemetar. Ia tahu. Blog ini ... rahasia. Ia menoleh ke arah Piyan. Anak itu malah mengacungkan jempol.

"Jahat," gumam Gerald. Namun, ia tak melakukan apa-apa, meski sebenarnya ia sangat ingin mengguncang-guncang Piyan dan memarahinya. Deka yang tenang-tenang saja dan memilih diam membuat Gerald melupakan kecurigaannya akan anak itu kemarin. Yang ada di kepalanya sekarang adalah: Nelly dan Piyan bersekongkol.

Apa salah Leana?

Gerald tentu ingat, beberapa waktu lalu, Piyan pernah ribut dengan Leana. Alasannya sepele pula. Leana marah-marah karena Piyan diam-diam mengambil buku gambarnya dan melihat isinya--padahal Leana jelas-jelas melarang.

Itu rahasia, kan?

Saat itu, Piyan menolak minta maaf. Sampai saat ini juga Gerald tak pernah mendengar anak itu minta maaf. Heran, ia kepikiran. Leana tak pernah menuntut lagi, meski tiap melihat Piyan, ia melengos.

Nah, sejak kapan aku jadi pemerhati orang begini?

Orang yang sejak tadi dibicarakan muncul di pintu kelas. Mendadak, suasana yang semula panas langsung hening. Diam.

Leana seperti tahu sesuatu. Wajahnya tegang. Ia memilih duduk di bangkunya ketika Roy sang ketua kelas memanggilnya dengan suara dingin.

"Aku ngapain?" tanya Leana.

"Sikap sok anak emasmu itu ngelesin," sahut Roy sambil bersedekap.

"Leana kerjaannya cuma gambar atau caper ke guru. Mana peduli dia sama kita? Emang dia yang bikin susah solid."

Demi mendengar sumber suara itu berasal dari belakangnya, Gerald langsung melompat dan mengguncang Piyan. "Hahaha, berisik kamu, Yan."

Gerald pandai berahasia. Dan itu yang ia lakukan sekarang: merahasiakan kekesalannya, menutupinya dengan ekspresi biasa. Ia harus memberi tahu hal ini ke Leana, bukan dengan cara yang mungkin akan dilakukan orang lain yang cenderung penuh penghakiman.

Apa, ya? Pujian?

"Len! Aku baru tahu sesuatu. Kamu bakat bikin cerita, ya?"

Melihat reaksi Leana, Gerald yakin ia salah bicara.

"Anak kayak gitu enggak perlu ditemenin," ujar Roy.

"Halah, itu kan kalian. Len kan peduli aku."

"Apa sih?!"

Leana terpancing, tapi bukan karena satu kelas. Gerald merasa agak lega. Sambil berusaha menghilangkan rasa bersalahnya, Gerald menunjukkan layar ponselnya ke Leana.

The WIPWhere stories live. Discover now