Kilas#2: Sudut Pandang Gerald

29 11 30
                                    

Anak laki-laki itu tak peduli soal keruwetan yang dirasakan orang lain di sekolah. Menikmati hidup dan masuk surga adalah moto hidupnya. Menikmati hidup sudah ia jabani, lantas bagaimana caranya masuk surga?

Sebuah pikiran absurd. Gerald pusing sendiri memikirkannya. Ah, lupakan. Lagipula, sejak kapan ia mau berpikir?

Gerald yang supel dan bisa diandalkan dekat dengan banyak orang. Meski begitu, cerita apa pun yang ia disuruh dengarkan dan rahasiakan tak pernah sampai bocor ke telinga orang lain. Ia menyimpan rahasia dan bisa dipercaya. Bukan hanya itu, saking seringnya tiba-tiba diajak bicara oleh siapa pun--termasuk ibu-ibu komite--Gerald bisa tahu jenis-jenis informasi. Mana yang memang diobrolkan untuk khayalak. Mana yang sebaiknya-jangan-disebar. Mana yang benar-benar rahasia.

Intinya, ia pendengar yang baik.

Suatu hari, Gerald mendapati Deka sedang sibuk mengetik di depan laptop. Pelajaran TIK memang membuat mereka wajib membawa laptop di hari-hari tertentu, kalau tidak menggunakan fasilitas lab komputer sekolah. Namun, sudah tak ada TIK menjelang ujian akhir begini.

"Ngapain, Dek?" Gerald sengaja menekankan suku kata "Dek".

"Jangan panggil gitu napa!" balas Deka gusar. Ia selalu dongkol tiap mendengar panggilan dirinya seolah ia anak kecil.

"Siapa suruh panggilannya Deka," sahut Gerald. "Ngapain, sih? Sibuk amat."

"Heh, rahasia. Hus." Deka melakukan gerakan mengusir sambil menarik laptop mendekatinya.

"Apaan sih, rahasia-rahasiaan. Kayak cewek aja. Lagi stalking gebetan ya?" sungut Gerald.

"Ngawur!"

Gerald geleng-geleng kepala. "Mencurigakan."

Bukan sekali dua kali saja Gerald meladeni ocehan alias curhatan anak-anak perempuan yang berujung ancaman, ini rahasia. Awas aja kalo disebar. Namun, bukan itu fokus Gerald sekarang. Ia memang menghargai rahasia, tetapi ia penasaran. Piyan muncul ke samping Deka dan berbisik-bisik. Gerald tambah manyun melihatnya.

Dah, lah, bukan urusanku.

Meski begitu, Gerald iseng bertanya pada Piyan. Belum apa-apa ia sudah kena semprot.

"Peduli amat orang ngapain!"

"Lagian, bisik-bisik di kursi belakangku, sih." Gerald mengangkat bahu. "Enggak mau ngasih tahu bilang aja, jangan marah-marah gitu!"

Ujung-ujungnya, Piyan yang memberi tahu. Dengan embel-embel biasa: jangan kasih tahu siapa-siapa.

Kayak cewek amat, batin Gerald.

"Besok bakal ada kejutan, Ger. Aku menemukan inti kejanggalan selama ini."

"Kejanggalan apa?" Gerald tentu heran.

"Ulangan-ulangan dadakan tanpa alasan. Kamu enggak mikir itu aneh?"

"Sejak kapan aku mikirin begituan?" sahut Gerald. "Terus, apa yang kamu temukan?"

"Ada satu anak cepu di kelas kita."

Ekspresi Gerald langsung berubah. "Siapa?"

"Leana."

****

Esok paginya, semua masih berjalan normal. Leana masih duduk dan bercanda dengan teman sebangkunya sebelum pergi ke kantin sendirian.

Tunggu. Pertama, mengapa perasaan Gerald jadi sangat tidak enak? Sampai-sampai tanpa sadar, ia memperhatikan gerak-gerik anak perempuan yang duduk dekat pintu itu.

The WIPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang