Kilas#1: Sudut Pandang Anyelir

43 10 15
                                    

Semua masih sama. Biasa saja, seperti hari-hari lalu.

Anyelir bangun pukul tiga pagi. Berwudu, lantas menunaikan salat empat rakaat plus tiga. Berdoa dengan sungguh-sungguh supaya harinya selamat.

Harinya selamat?

Bisa saja Anyelir pulang dalam keadaan sangat lelah. Kalau sudah begitu, ia akan jatuh sakit tidak lama kemudian. Bukan, bukan penyakit yang disebabkan oleh virus. Anyelir hanya menyebutnya kelelahan.

Anyelir tidak mau kelelahan. Hanya satu hal yang jelas-jelas bisa membuatnya tumbang. Sesuatu yang berurusan dengan makhluk lain.

Subuh menjelang. Anyelir, kini bersama ibunya, salat subuh berjamaah. Dilanjut membaca zikir pagi bersama. Barulah Anyelir akan menyarap dan mandi, bersiap-siap sekolah.

Masih terlalu pagi saat Anyelir sampai di kelas. Ia langsung menuju bangku paling belakang dan menelungkup di sana. Sampai satu jam kemudian, Anyelir masih sendirian. Memang kelas 9 tinggal pendalaman materi, masuk pukul 8. Anyelir saja yang terlampau "rajin", pukul setengah tujuh sudah sampai sekolah.

Pukul setengah delapan, seorang anak perempuan berkucir dua memasuki kelas dengan langkah gontai. Anyelir tahu, anak itu memang biasa datang sedikit lebih pagi dari anak-anak lain. Ia juga bisa menerka mengapa anak itu tampak begitu lesu. Kejadian kemarin tentu bukan hal yang biasa diabaikan. Anyelir sangat paham rasanya punya rahasia yang terbongkar. Ia simpati, tetapi rasa cemas soal apa yang terjadi kalau ia mencoba dekat membuatnya urung menyapa.

PM berlangsung biasa. Kelas agak sepi, satu-dua orang membolos. Anyelir duduk sendiri, berhubung sebenarnya orang tak ada yang mau dekat-dekat dengannya. Ia menatap ke depan. Anak perempuan berkucir dua itu juga sendiri, padahal biasanya ia punya teman sebangku. Anak itu menelungkup di meja, sesekali mengangkat wajah, lalu bersandar ke kursi.

Mengapa Anya jadi pemerhati begini?

Ia merasa aneh. Ada yang tak biasa dari anak itu. Bukan sekadar kelesuan yang diperlihatkan sejak tadi. Leana ... ada sesuatu yang mengikutinya.

Mengikutinya?

Anyelir menelan ludah. Rasa cemasnya berganti. Apa itu? Apa yang menyebabkan Leana begitu?

Biasanya, kalau Anyelir merasa tidak nyaman begini, ia akan melihat sesuatu dengan lebih jelas. Sosok hitam besar yang seolah membayangi dirinya. Namun, kali ini, sosok itu hampir tak terlihat. Anya paham sesuatu. Seperti pengalamannya yang lalu, kalau si hitam itu tampak mengkeret, artinya yang Anyelir lihat bukan makhluk main-main.

Pendalaman materi selesai pukul sepuluh. Anyelir masih diam di bangkunya, menimbang-nimbang. Haruskah ia menyapa Leana?

Haruskah ia menyelamatkannya? Melindunginya dari entah apa pun itu yang mengikutinya.

Anyelir dilanda kebimbangan besar. Sejak lulus SD, ia bertekad "sembunyi" dari khayalak dan menyendiri. Ia tak mau orang lain menyadari kemampuannya. Yang lebih ia takutkan jika orang lain paham bahwa sosok hitam yang bisa tiba-tiba terlihat di belakangnya itu bukan sekadar ilusi, halusinasi, atau kebetulan ada di sana. Anyelir lah yang "membawa" sosok itu ke sana, ke mana pun ia pergi.

Anyelir tepekur lama di kursinya. Ia lapar, tetapi tidak ingin ke kantin. Kemelut di kepalanya kian bertambah. Ia takut, andai ia mencoba membantu Leana, anak itu malah menjauhinya seperti yang sudah-sudah.

Leana sedang dijauhi. Dia harusnya paham kan kalau dijauhi itu enggak enak? Tapi, kasusku sangat berbeda dari Leana ....

****

Dulu, saat kelas 4 SD, Anyelir mengalami hal buruk akibat merasa harus melindungi seseorang. Anyelir dan sikap polosnya yang mungkin berlebihan. Ia tahu sedikit-sedikit soal hal gaib, seperti yang diajarkan kakek dan orang tuanya, akibat ia yang terkena imbas leluhurnya: memiliki penjaga. Anyelir terlahir tidak biasa. Penjaganya, si hitam itu, sudah ada sejak ia pertama mampu melihat, mungkin kisaran umur dua bulan.

The WIPWhere stories live. Discover now