5. Ujian

57 16 10
                                    

Meski heran, Leana merasa ucapan Anya ada benarnya.

Leana mencari tahu tentang Fuma. Agak percuma mengingat Fuma sebenarnya nama pena. Leana pun tak bisa tiba-tiba mengontak juri lomba dulu. Siapa ia? Ikut lomba saja tidak. Padahal, data peserta adalah privasi.

Merasa buntu, Leana menembak langsung.

Len: Fuma, kamu domisili mana, sih?

Pesan yang dijawab lama kemudian.

Fuma: Bandung.

Leana terhenyak. Ia teringat destinasi karyawisata yang dicanangkan para orang tua murid.

Len: Hee, berarti, kalau aku ke Bandung, kita bisa ketemu?

Fuma: boleh kalau bisa. Nanti kapan-kapan aku kasih alamatku, Kak Len ingetin aja.

Belum pernah Leana merasa seantusias ini. Mungkin, jiwanya yang mendambakan pertemanan normal membuatnya ingin bertemu teman dunia mayanya secara langsung.

Setelah itu, Leana fokus menyelesaikan warna dasar karena Fuma menagihnya. Ia sedang bersemangat. Akhirnya, pekerjaannya untuk episode satu selesai. Ia bisa berjingkrakan di kasurnya, lantas mengistirahatkan tangannya.

"Pengin lepas jempol!" keluh Leana. Tentu saja tidak sungguh-sungguh. Setelah itu, Leana mengerang teringat ujian yang ada di depan mata. Penggunaan komputer sungguh membantu jemarinya yang kaku-kaku. Masalahnya kini adalah kemauan Leana belajar.

Leana akan sungguh-sungguh belajar kalau ujian itu penentu kehidupannya, termasuk nilai rapor. Angka tujuh di rapor bisa membuat Bapak murka. Tiap Bapak murka, Leana merasa ia bisa mati di tempat. Namun, nilai apa pun yang tak terpajang membuat motivasi Leana belajar anjlok. Semalas apa pun Leana, ia tak pernah berbuat curang.

Masalahnya, semua nilai di ujian-ujian akhir sekolah ini pasti akan muncul, entah di ijazah atau tempat lain. Leana keburu pesimis. Krisis pertemanan, proyek diam-diam, dan mimpi buruk yang masih sering terjadi membuatnya kesulitan fokus. Maka, setelah pekan ujian sekolah berlalu, bukan helaan napas lega yang terdengar dari Leana, justru erangan frustrasi.

"Kenapa?" tanya Anya.

Leana menoleh. "Ujianku kacau. Aku nahan sepekan ini. Kamu benar, Nya, aku ada apa-apa. Aku mau cerita."

Dua anak itu sudah duduk di balkon yang sepi, saling berhadapan tetapi sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Sebelumnya, aku sudah tanya Fuma langsung. Dia ... anak Bandung."

"Hah?!" Anya tampak syok.

"Aku juga enggak nyangka. Ingat destinasi jalan-jalan kita? Aku jadi iseng, mau ngajak dia ketemuan. Haha." Leana memainkan ujung rambutnya. "Soal Fuma, aku enggak mempermasalahkan lagi. Tapi, yang ini ... mimpi?"

"Mimpi?"

"Aku sering kelihatan ngantuk dan tiba-tiba ketiduran karena aku sudah tidur malam." Leana memeluk lututnya. "Bukan insomnia. Aku bisa tidur cepat, tapi tiba-tiba mimpi yang bikin aku terbangun berkali-kali. Mimpi buruk. Soal ... aku yang melihat diriku sendiri." Leana kini menjatuhkan kepalanya. "Katanya, astral project."

"Serius?" Anya sendiri tampak tak percaya.

"Aku capek. Berkali-kali aku kira, aku sudah mati. Soalnya, aku bisa melihat diriku sendiri, lagi tidur ... atau tak bernyawa?" Leana kembali mengeluh.

Anya menggeleng. "Kamu masih hidup."

"Iya, ya, aku tahu!" Leana gemetar sendiri. "Kamu tahu, Nya, mimpi itu terasa nyata. Banget. Bangun-bangun, aku kelelahan. Makanya, aku sering ketiduran di kelas. Aku mulai susah tidur di kamar. Seram ...."

The WIPWhere stories live. Discover now