13. Keberangkatan

60 15 23
                                    

Otw jadi omniscient POV

****

Satu pikiran--atau fakta--yang sangat menyeramkan.

Leana tentu ingat bagaimana ujiannya kacau. Ia terkantuk-kantuk dan hampir tertidur ketika sedang membaca soal. Atau jangan-jangan ia memang tertidur? Saat ia mengingat-ingat, sepertinya ia tak menggunakan kertas coretan sedikit pun. Apakah ia sempat memegang pensil? Apakah ia menulis rumus?

Leana merinding sejadi-jadinya. Jadi, itu bukan hoki semata? Jadi, ada sesuatu yang mengambil alih dirinya?

"Kamu akan membacanya tiap malam. Apa yang sudah Fuma rencanakan, siapa saja tokoh yang muncul, yang baik, yang jahat, yang akan mati ...."

Kali ini, tiap hendak tidur, Leana akan berselimut rapat-rapat, berharap tak ada yang mengganggu istirahatnya. Entah dirinya sendiri yang tiba-tiba "melayang" atau malah ada sesuatu yang merasuki tubuhnya. Leana tertekan sendiri. Ia jadi parno untuk memejamkan mata. Lagi-lagi ia kurang tidur. Malam-malamnya dihantui mimpi yang teramat nyata.

"Lea, buat lima hari, kan?"

Leana mengangguk lesu. Hari ini, ia berbelanja kebutuhan untuk bepergian bersama ibunya. Besok ia berangkat, tetapi mood Leana masih kacau.

"Kenapa kamu kayak gembel begitu, sih?" tanya Ibu. "Kurang tidur, ya? Mimpi buruk? Hayo, enggak baca doa."

"Baca doa, kok," sanggah Leana. "Tapi tetep kurang tidur."

"Banyak pikiran?"

Banget, sahut Leana dalam hati. Namun, ia tak berminat cerita soal semua keanehan yang ia alami, terutama di dalam mimpi. Reaksi orang tua biasanya sama: cuma bunga tidur!

"Bapak udah seneng lo kamu bisa di atas passing grade SMA favorit," ujar Ibu. "Kamu harus seneng juga. Besok bareng-bareng temenmu. Nikmati saat-saat terakhir sama mereka. Namanya kan perpisahan."

Leana mengangguk-angguk saja sepanjang petuah Ibu. Ia mengecek daftar belanjaannya dan memasukkan beberapa bahan makanan. Ibu yang sudah tahu rombongan anaknya akan masak sendiri selama beberapa hari menyampaikan beberapa saran. Buat makanan yang simpel. Bahan sedikit, tapi bisa buat banyak porsi. Kalau enggak mau berat bawa banyak beras, kalian sarapan roti saja. Enggak sekalian bawa plastik buat bikin es? Lumayan buat seger-segeran.

"Lea, mau beli jaket? Yang itu kan sudah dari kamu kelas 6," ujar Ibu sambil menunjuk satu arah, tempat baju-baju dipajang.

Leana menggeleng. "Masih kegedean ini."

"Tapi gembel."

"Bu!" Leana protes juga. "Yang penting masih bisa dipakai. Aku beli lagi kalau yang ini sudah rusak atau kekecilan aja."

"Ya sudah, ini beli sekarang aja, kamu pakai nanti-nanti. Sayang banget kalau kamu pake baju lama begitu. Nanti dikira Ibu enggak punya uang buat beliin kamu baju."

Leana sama sekali tak mempermasalahkan barang-barang lama yang ia kenakan, selagi masih layak. Namun, ia menurut saja. Untuk sekarang mungkin tidak apa-apa memakai jaket lamanya, tetapi kalau sudah masuk SMA di tempat favorit dengan banyak orang berpakaian modis? Bisa minder ia.

Ah, Leana jadi ingat lagi soal nilai ujiannya. Dingin merambati hatinya. Perasaan bersalah, berdosa, dongkol, marah, dan takut jadi satu. Ia benci sontekan. Ia benci kerja sama saat ujian. Ia benci kecurangan. Leana masih menoleransi kehokian seseorang. Namun, dirinya sendiri?

Leana merasa, itu benar-benar bukan dirinya.

****

"Leana ...."

The WIPWhere stories live. Discover now