12. Zleth

57 15 15
                                    

Leana terdiam di kamarnya. Pesan dari Rara yang memintanya segera mengirim komik membuatnya sakit kepala. Ia sama sekali belum menyentuh kontrak atau apa pun terkait penerbitan. Ia menolak untuk melanjutkan. Biar saja komik itu tertahan di episode satu. Tak bisakah tanda hiatus atau tamat diberikan sekarang juga?

Apa yang akan terjadi kalau Leana membiarkan saja?

Ia mematikan fitur centang biru dan menampakkan diri sedang offline. Biar saja orang-orang kalang kabut. Fuma menghilang, ia tak mau kena getahnya. Aku juga mau hilang saja!

Leana menatap pergelangan tangan kanannya. Sudah lebih baik, meski masih ada tempelan koyo di sana. Ia menatap kasurnya, komat-kamit membaca doa, sebelum akhirnya rebahan. Pikirannya mencoba merunutkan kejadian.

Semua dimulai sejak Fuma menawarinya kerja sama, yang bersamaan dengan hari terkacaunya. Jadi bulan-bulanan seangkatan, katanya. Lebih tepatnya, Leana jadi dihindari semua orang. Istilah anak emas melekat padanya, selain penjilat dan sebagainya. Leana sudah berusaha sabar. Seperti tadi, sebelum ia mendampingi Gerald menghadap guru dan wali murid, Leana diusulkan dengan alasan pandai menjilat dan anak emas.

Haruskah Leana benci?

Ia mungkin benci, tetapi tidak secara personal ke orang tertentu. Ia hanya bisa membenci suatu sifat yang ia anggap melenceng dari kebenaran. Ia tak akan benci seseorang karena itu bukan dirinya. Bukan Leana yang ... berusaha bertindak benar.

Uh, terdengar konyol sekali.

Makin hari, Leana makin pusing dengan dirinya sendiri. Apakah ini efek puber? Katanya, SMP itu pra-remaja. Masa labil-labilnya. Mungkin Leana sedang mengalami fase terparah saat-saat peralihannya.

"Aku mikir ke mana, sih?" Leana menimpa wajahnya dengan bantal. Ia kembali teringat draf komik. Ia terngiang hasil ujian yang kemungkinan besar kacau.

Lusa ambil rapor!

Leana melonjak dari kasurnya. Kalang kabut memikirkan nasibnya. Nilai tak mencukupi. Tabungan kurang. Ia mau apa?

Mengapa Leana bisa pesimis nilainya?

Bagaimana tidak? Ia ujian dalam keadaan kacau karena tak bisa tidur malam. Mimpi buruk keluar dari raga berkali-kali. Untung, ia tak melihat dirinya sendiri tiba-tiba bangun dari kasur dan berjalan-jalan atau bahkan pergi. Bagaimana caranya ia bisa kembali kalau raganya tak ada?

Tunggu. Mengapa pikiran ini makin meliar?

"Kenapa coba tiba-tiba badanku bisa jalan-jalan sendiri? Kerasukan?" Leana merinding. Cukup dengan astral project dan lucid dream. Ia tak mau terlibat hal-hal aneh lain.

Intensitas mimpi astral project-nya berkurang belakangan ini, meski disusul mimpi aneh lain soal rumah--vila yang hendak mereka sewa. Mana pernah Leana memimpikan sesuatu yang ternyata ada di dunia nyata, padahal ia belum pernah ke sana sebelumnya? Itu yang menyebabkan Leana berpikir bahwa mimpinya adalah pertanda.

"Soal ujian, bismillah aja deh," gumam Leana. Ia kembali rebahan. Ia toh sudah baca doa, mestinya tak ada mimpi buruk, kan?

"Andai pas aku bangun, semua masalahku selesai."

****

Leana bermimpi.

Ya, ia tahu ini mimpi.

Leana menjejak tanah basah di tepi sebuah rawa. Hutan di sekitarnya tersamarkan kabut. Hening dan lembap. Leana ingin bersin-bersin rasanya.

"Leana, apa kamu bisa melihatku?"

Leana membeku. Suara siapa itu? Sepertinya agak familier.

"Leana ...."

The WIPWhere stories live. Discover now