19. Diri yang Lain

55 14 33
                                    

Ada yang nungguin cerita ini update?
Cie cie ....
Makasih.

****

"Ramai ... aku paham maksudmu," unggap Gerald. Ia sudah keringat dingin sejak tadi.

"Ger, apa yang kamu rasakan pas survei pertama kali?" selidik Anya.

"Biasa saja, tapi di beberapa titik kayak ada yang mengganjal ...." Gerald melirik ke belakang. "Termasuk di depan gudang."

"Wah, ayo kita bongkar gudangnya," usul Leana.

"Kalau nemu linggis, boleh dicoba, Len. Mungkin sungguhan ada sesuatu di sana ... meski agak mencurigakan," sahut Anya.

"Len?"

Anya terkesiap. Ia sampai menutup mulutnya. Belum pernah ia keceplosan sebelumnya. Lebih tepatnya, tak pernah ada yang peduli apa yang ia bicarakan.

"Anya ... kamu ngomong ke siapa?" tanya Gerald. Raut wajahnya campur aduk. Gelisah, tegang, berharap, cemas, takut, semuanya.

Anya tak menjawab. Ia memilih menunduk, menekuri tehnya yang dengan cepat mendingin.

"Anyelir!"

Anya dan Leana sama-sama tersentak. Mereka tak pernah mendengar Gerald memanggil dengan nada hampir membentak begitu.

"Jawab! Buruan!"

Tidak. Gerald tidak marah. Ia hanya diliputi aneka perasaan. Pikirannya kacau, batinnya terguncang. Sebagai Ketua Pelaksana, ia yang harus bertanggung jawab atas semuanya.

"Ke aku, Ger! Kamu dengar aku?" seru Leana. Percuma. Gerald tak bereaksi pada seruannya sama sekali.

"Ke ...." Anya makin salah tingkah. Ia tak tahu Leana di mana. Ia tak bisa melihatnya. Panik tiba-tiba menyergap. Teringat Leana sempat menjauh darinya membuat Anya mendadak ketakutan. Tanpa sadar, air matanya keluar lagi.

"Eh ... sori! Enggak maksud!" Gerald kaget bukan kepalang. Anya tiba-tiba menangis.

"A-aku enggak maksud nangis, kok ...." Anya gelagapan. Ia panik mengusap air matanya. "Aku cuma ... takut dianggap gila ...."

"Nya, Gerry teman baik kita. Dia pasti percaya. Kamu sendiri bilang kalau kita bakal butuh bantuan dia?" ujar Leana pelan.

"Aku tahu, kamu punya sedikit kepekaan berlebih," gumam Anya ke Gerald. "Aku tahu sejak omongan di bus. Tapi, perasaanmu enggak sekuat aku."

"Kamu ... indigo?" tanya Gerald pelan.

"Aku benci istilah itu."

"Ah ... apa ya?" Gerald tampak berusaha mencari kosakata lain.

"Ger, Leana ada di sini," ucap Anya akhirnya.

"Di sini?!" Gerald melonjak dan langsung menoleh kanan-kiri. "Mana?"

"Aku enggak yakin kamu bisa lihat."

Gerald memelotot. "Maksudnya ...?"

"Len, coba lakukan seperti yang tadi kusuruh," ucap Anya.

Leana menurut. Ia sampai memelototi Gerald tepat di depan hidungnya, tetapi Gerald tak bereaksi apa-apa.

"Aku juga enggak bisa lihat," aku Anya. "Tapi, aku bisa mendengarnya. Makanya, aku bisa mengobrol dengannya."

"Ah! Tolong sampaikan ke dia--"

"Tolong sampaikan palamu!" Leana memotong ketika Gerald sibuk berpikir. "Aku bisa dengar, tahu!"

The WIPWhere stories live. Discover now