Epilog

64 12 29
                                    

Cahaya matahari menyinari hutan. Suasana cerah ceria. Satu-dua burung beterbangan dan berkicau dengan merdunya.

Setelah sarapan, Leana, Anya, dan Gerald membawa Fuma ke seorang pengurus yang datang hari itu. Pegawai memang harus tetap datang meski tak diminta.

"Eh, dia kan ...." Mang Adi tampak amat keheranan. "Dia ... waktu itu menghilang dan enggak ditemukan. Itu sebelum tempat ini jadi vila."

"Dengan siapa dia tinggal?" tanya Gerald.

"Sendiri, sama pelayannya."

Gerald, Anya, dan Leana berpandangan. Eksistensi beberapa orang benar-benar terhapus, termasuk orang tua Fuma.

"Sejak kapan rumahku juga jadi vila?" tanya Fuma. Suaranya bergetar.

"Sejak ... penanggung jawab bangunan memutuskan menyewakannya, karena enggak ada lagi yang menghuni," jawab Mang Adi. "Kamu hilang seminggu ... udah dicari sampe ke hutan."

"Pemilik bangunan siapa?" kejar Gerald.

"Enggak tahu. PJ-nya juga dikasih kewenangan atas bangunan."

"Bisakah kita hubungi dia? Siapa tahu Fuma kenal," usul Leana.

"Saya enggak tahu kontaknya, Dek. Mungkin, Dek Fuma ikut saya aja."

"Enggak mau ke kantor polisi!" seru Fuma.

"Enggak papa, ya? Mungkin, kalau kita udah balik, kamu bisa tinggal di rumah ini lagi," ujar Leana mencoba menenangkan.

"Aku ... mau tinggal sendiri ...." Fuma sudah menangis. "Enggak mau ada orang dewasa ... atau wali ... aku mau sendiri!"

Akhirnya, Mang Adi membawa Fuma yang masih tantrum dengan motornya. Tiga anak yang tertinggal menghela napas lega.

"Aaaaaah!" Leana tiba-tiba berseru dan menyambar tangan temannya di kanan-kiri. "Aku lega! Terima kasih, kalian berdua! Kalian benar-benar sobat terbaikku!"

"Lepas tanganku, Len," gerutu Anya, meski wajahnya berbinar.

"Len, kamu mau pelukan?" tawar Gerald. Kontan, Leana langsung mengibaskan tangannya.

"Jadwal kita kembali!" Gerald menarik napas dalam, merasakan udara pagi pegunungan yang menyegarkan. "Hai, Bu Sekre dan Bu Wasekre, tetep bantu aku, ya!"

Semuanya berjalan normal, di luar hilangnya keberadaan tiga orang dari mereka. Nelly, Deka, dan Piyan seolah tak pernah ada. Sampai hari terakhir saat guru-guru datang, semua berjalan lancar. Acara penutupan dipenuhi air mata. Pentas seni yang mengocok perut. Diakhiri dengan makan siang bersama, satu angkatan plus guru-guru.

Anya tampaknya masih terbiasa sendirian. Ia merenung di balkon ketika yang lain sedang bermain-main sebelum pulang. Leana menghampirinya. "Nya? Kenapa sendirian aja?"

Anya menoleh sambil tersenyum. "Enggak papa. Kayaknya, aku memang lebih suka sendirian."

"Kamu enggak apa-apa, kan? Sejak ... sejak penjagamu diambil?" tanya Leana hati-hati.

"Apa aku terlihat apa-apa?"

Leana nyengir. Anya justru terlihat jauh lebih cerah dari sebelumnya.

"Yah, mungkin, aku masih bisa kena masalah, berhubung aku masih bisa melihat," ungkap Anya. "Aku percaya orang tuaku. Aku punya pelindung yang sesungguhnya. Ada kekuatan tiap salat, doa, zikir, dan mengaji."

Leana mengangguk-angguk. Ia tak akan membantah Anya soal itu. Ia mengintip ke bawah balkon dan mendapati seseorang. "Nya, itu Gerry. Suruh ke sini, enggak?"

"Boleh."

Gerald tentu senang hati menghampiri mereka. Tiga orang itu bersandar di pagar balkon, sama-sama mengulum permen yang dibawakan Gerald.

The WIPTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang